Showing posts with label Inspirational Things. Show all posts
Showing posts with label Inspirational Things. Show all posts

05 January 2016

Kepemimpinan: Manajemen Emosi

Dalam perang Khandaq, Amr bin abd Wad seorang jawara Quraisy menantang duel kaum Muslimin. Lalu Rasulullah bertanya kepada para sahabat siapa yang bersedia menjawab tantangan Quraisy, sahabat Ali bin Abi Thalib menjawab tantangan tersebut.
 
Amr bin Abd Wad mengejek Ali bin Abi Thalib yang masih muda dan bertubuh lebih kecil, namun dengan kegesitan Ali ra. Amr bin Abd Wad terluka di bagian pahanya oleh sabetan pedang Ali. Ketika akan membunuh Amr bin Abd Wad, Amr meludahi Ali dan Ali lalu sempat mundur dan urung membunuhnya, setelah beberapa saat lalu Ali kembali dan menuntaskan duel tersebut dengan membunuh Amr bin Abd Wad. Setelah usai duel, para sahabat menanyakan kepada Ali mengapa ia sempat urung membunuh Amr, Ali ra. menjawab "Saat dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah SWT,”.
 
Malam tahun baru 2016 kemarin akhirnya mendapat tugas pengawasan tahun baru kembali, setelah sebelumnya di 2010 melaksanakan pengawasan malam tahun baru di beberapa tempat di Mega Kuningan dan sempat bersitegang dengan seorang Manager Bar di tempat tersebut.  Awal mula perselisihan adalah ketika saya datang meminta report omset malam itu, laporan omset penjualan adalah hal sensitif bagi pelaku usaha, apalagi yang meminta adalah petugas pajak. Perselisihan diakhiri dengan kemarahan manager dan securitynya yang sampai 10 orang kepada saya dan 2 rekan, akhirnya saya mundur dan dilanjutkan oleh 2 rekan saya.
 
Malam tahun baru 2016 kemarin saya kembali bertemu dengan usaha yang mirip seperti ini, sebuah cafe di Pacific Place, dan ternyata manager di cafe tersebut adalah mantan anak buah manager di bar Mega Kuningan 2010 yang lalu (what a small world). Manager tidak bersedia memberikan laporan omset dengan alasan yang tidak masuk akal, sistemnya error atau saya cuma manager operasional. Tetapi, kali ini saya sudah belajar banyak hal tentang bagaimaba mengontrol emosi.
 
Pengalaman hampir dikeroyok security Bar sampai pengalaman bersitegang dengan Penyidik di Polda Metro menjadi pengalaman berharga. Bahwa dengan emosi maka pemikiran dan keputusan yang diambil tidak akan optimal, terlebih seorang pemimpin yang harus mengambil keputusan penting.
 
Seorang senior pernah memberikan nasihat, jika emosi ambil nafas panjang dan bershalawatlah, lalu buang nafas. Pada kesempatan yang lain, ada yang mengajarkan untuk berzikir basmalah dan zikir lainnya.
 
Selamat mengontrol emosi dengan berzikir

05 October 2010

Bekerja Keras

Bangsa Asia sejak lama sudah terkenal sebagai bangsa petani, hampir seluruh bangsa asia, khusunya asia timur, makanan pokoknya adalah nasi. Dari bangsa jepang dan cina di utara sampai bangsa Indonesia di selatan. Namun, iklim yang ada di asia timur tidaklah sama, bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa di Asia Tenggara diberikan limpahan sinar matahari sepanjang tahun sementara bangsa Jepang dan Cina harus merasakan musim salju yang bergantian dengan musim panas. Musim salju sudah dapat dipastikan tidak dapat dilakukan cocok tanam, khususnya padi yang memerlukan perhatian ekstra.

Sementara bangsa Indonesia dapat merasakan panen 2 kali setahun karena limpahan sinar matahari, bangsa Cina tidak bisa mendapatkan limpahan matahari yang sama. Tetapi sejak dulu, petani cina tetap dapat melakukan panen 2 kali setahun dengan kondisi yang kurang menguntungkan. Petani di Cina menyiasati kekurangan sinar matahari dengan bekerja lebih keras, mereka bangun jam 4 pagi, menyiapkan benih-benih, membersihkan rumput, mempupuk dan mengairi lahan pertaniannya. Petani di Cina baru akan pulang ke rumah pada pukul 7 malam, dengan jam kerja lebih dari 12 jam, dalam setahun petani di Cina dapat menghasilkan panen 2 kali.

Lalu bagimana petani di Indonesia?, ke ladang jam 8 pagi, membersihkan rumput mengawasi ladang, makan siang jam 12, istirahat tidur siang (maklum warisan belanda), dan pulang jam 4 sore.

Petani di Cina selalu mempersiapkan diri menghadapi musim salju, petani yang tidak berhasil panen akan kelaparan pada musim salju. Tragedi kelaparan luar biasa pada zaman Mao ze Dong adalah contoh bagaimana kerasnya musim salju di Cina. Pada musim saljupenduduk desa sampai terpaksa melakukan kanibalisme karena kelaparan. Seorang ayah sampai berkata kepada istrinya agar setelah sang suami meninggal, dagingnya agar dimasak dan diberikan kepada anak-anaknya, agar mereka dapat hidup melewati musim salju.

Apakah bangsa Indonesia harus menunggu sampai Allah menarik kenikmatan luar biasa cuaca khatulistiwa ini agar kita mau bekerja keras? sudah selayaknya kita bersyukur dan mau belajar dari bangsa lain, bahwa bangsa ini mampu untuk menjadi bangsa pekerja keras.

Selamat bekerja keras.

21 September 2010

Kesederhanaan

untuk kaum muda dengan idealisme
Kemarin kompol Arafat Enanie, seorang penyidik polisi dalam kasus suap pajak Gayus Tambunan divonis 5 tahun penjara dan pastinya akan dipecat dari dinas kepolisian. Kompol Arafat tinggal di Sawangan, daerah pinggiran Jakarta dengan keluarga kecilnya. Jika dilihat dari pangkat dan usianya kompol Arafat termasuk lulusan SMA tahun 1995, atau kira-kira 5 tahun di atas saya. Teman-teman SMA satu angkatan dengannya adalah mahasiswa yang berjuang di tahun 1998 untuk reformasi di Indonesia.
Arafat dinyatakan bersalah karena menerima Harley Davidson dan uang untuk pembelian rumah baru di Telaga Golf Sawangan. Ketika ditawarkan motor Harley tersebut, Arafat berkata, "kalau dikasih ya saya mau".  

Gaji pokok seorang anggota polisi dengan pangkat kompol adalah sekitar 2 juta rupiah, dengan tunjangan lain-lain dalam sebulan kira-kira take home pay-nya adalah 5-8 juta rupiah, dengan gaji sebesar itu seorang suami dapat memiliki sebuah rumah dan kendaraan sederhana (dengan menyicil tentunya).
Seorang Arafat dengan usia awal 30an yang bekerja sebagai polisi, tentu penghasilannya berbeda dengan seorang manager Exxon di Indonesia atau manager Amdocs dengan usia yang sama, malah perbedaannya bisa sampai 4 kali lipat. Tidak heran jika kemudian seorang polisi berpangkat kompol berkeinginan untuk bergaya hidup seperti manager Exxon kawan SMAnya dulu.
Kuncinya adalah kesederhanaan, jangan mengukur diri dengan orang lain. Jalani hidup dengan sebaik-baiknya, Achievement bukan hanya soal materi. Dengan sederhana bukan berarti kita akan terhina di dunia apalagi di akhirat.
Semoga puluhan tahun lagi, saya dapat mengenang tulisan ini dengan senyum bangga dan bukan dengan senyum malu.

31 January 2010

Bumi Badai Peradaban

Hidup dan segala pilihannya. Seorang pelajar yang akan menghadapi ujian, maka ia menghadapi pilihan untuk lulus atau tidak lulus. Seorang mahasiswa yang sedang menempuh studinya mendapati pilihan untuk wisuda atau Drop Out. Seorang pekerja yang sudah sekian lama bekerja mendapati dirinya berada dalam pilihan untuk sukses dalam karier atau selamanya menjadi pekerja rendahan. Seorang pengusaha muda yang telah 7 tahun bergelut dalam bisnisnya, maka pilihannya adalah antara bangkrut atau menjadi konglomerat papan atas.

Ternyata, pilihan-pilihan di atas itu selalu didahului oleh pilihan-pilihan lain. Pilihan buat pelajar untuk belajar keras atau bermain. Pilihan untuk mahasiswa, agar mengerjakan skripsinya atau tidak. Pilihan pekerja untuk bekerja keras dan jujur atau malah malas-malasan dan korup. Pilihan bagi pengusaha muda, apakah akan bermalas-malasan dengan dalih sudah jadi bos atau mengembangkan bisnis dan kemampuannya.

Ya, pada akhirnya hidup memang pilihan, kalau bisa dirangkum menjadi lebih sedikit pilihan, maka pilihan itu hanya ada 2. Menyerah pada keadaan atau berdiri menentang badai.

Semoga kita semua tegar berdiri di bumi ini, bumi badai peradaban.

~dalam rangka mencoba menyaingi bumi manusia

30 December 2009

Indonesia as the New India

Taken from Newsweek 20 Oct 2008
For all of those who believe that Indonesia will soon beat China and India.
Let's move, Nation on the move

Jakarta today could be any of Asia's 21st-century boomtowns. The malls buzz, traffic snarls and modern office towers dominate the skyline. It all feels profoundly normal—but that's big progress in a place that, barely ten years ago, seemed destined for ruin. Following the fall of longtime strongman Suharto, and with Indonesia reeling from the 1997-98 Asian financial crisis, many analysts feared that Asia's third-biggest country (population: 235 million) would go the way of Yugoslavia. Instead, it has become a cohesive, robust and exuberantly democratic moderate Muslim nation. Things are so buoyant that Indonesia invites comparison to another Asian giant: India.

Both remain corrupt, chaotic and excruciatingly complex. Yet each is also an attractive emerging economy, and in India's case, a star of the developing world. Could Indonesia be next? Its economy grew by 6.3 percent last year, the main stock exchange ranks among the world's best performers since 2003 and last year foreign direct investment nearly tripled, to a respectable $4 billion. All of which resembles India in the 1990s, when reforms kick-started a potentially massive economy—though outsiders barely noticed until the IT sector took off and growth passed 8 percent. In Indonesia, the key sectors are energy, mining and soft commodities like rubber, palm oil and cocoa. And in an exclusive interview, President Susilo Bambang Yudhoyono says he sees no inherent reason why a big democracy like his can't grow as fast China, which has posted 10 percent growth rates in recent years.

That would put Indonesia on a lot of magazine covers. In fact, the country already looks better than India in two ways: its per capita income ($3,348) is a third higher, and thanks to Jakarta's fiscal austerity, it now boasts one of the lowest debt ratios in the world. "After ten years of restructuring, Southeast Asia's largest economy is in great shape," says Nicholas Cashmore, CLSA's country head and chief researcher in Jakarta.

Indonesia's political turnaround has been just as dramatic as its economic one. The president, known universally as SBY, is a former general who was elected in mid-2004 and has since become the country's most effective democratic leader. In four years, he has helped Indonesia roll up its terrorist problem and rebuild from the 2004 tsunami. Less appreciated (but more enduring), he has backed a profound political decentralization program, empowering hundreds of local administrations. Jakarta now rules by consensus, not decree. This has its downsides: it makes it impossible to railroad through big national development projects of the sort China is famous for. As SBY himself admits, "in many circumstances, we face local communities that don't agree with government projects, so we have to convince them. I do not think the system is wrong. In a democracy like ours, change, reform and resistance are normal."

The country's largest parties now basically agree on economic policy and the need to reduce corruption, improve the rule of law and make government more efficient. Key democratic institutions—including a free press, impartial courts and a legislature chosen by voters—are remarkably robust, and the once all-powerful military has largely removed itself from politics. Meanwhile, regional autonomy has triggered economic booms at the periphery, in contrast to the typical Southeast Asian model. "From the U.S., the U.K. or even Hong Kong," writes Cashmore, "it is difficult to comprehend the magnitude of Indonesia's potential [or] appreciate just how much more there is to the country beyond Jakarta." By his calculation, greater Jakarta now accounts for just 15 percent of Indonesia's GDP, a relatively small share compared to other Asian capitals.

Indonesia's accomplishments are all the more impressive when you remember how far and fast the country has come. The fall of Suharto's New Order (a highly centralized system that vested absolute power in the dictator and his cronies) 10 years ago was accompanied by a financial meltdown so severe that the IMF had to step in. Indonesia also faced fierce separatist insurgencies, Christian-Muslim violence and Islamic extremism underscored by the 2002 Bali bombing. The country seemed to be teetering on the brink of wholesale disintegration. Yet today, as Australian National University economist Andrew MacIntyre and the Asia Foundation's Douglas Ramage argued in a recent report, observers should start thinking of Indonesia "as a normal country grappling with challenges common to other large, middle-income, developing democracies—not unlike India, Mexico or Brazil."

In some ways Indonesia's democracy is even more sophisticated than those other states'. Take decentralization. Jakarta, like New Delhi, oversees national defense, internal security, finance, foreign policy and the justice system. But unlike the Indian government, Indonesia's—thanks to two "big bang" reform packages passed in 2001 and 2006, and supported by SBY—must now coordinate most other activities through the country's 33 provinces and nearly 500 local administrations, where popularly elected leaders make policy, manage two thirds of all civil servants and oversee everything from schools to economic development. As World Bank economists Wolfgang Fengler and Bert Hofman observe in a soon-to-be-published study, Indonesia has turned itself from "one of the most centralized countries in the world into one of the more decentralized ones."

To see what that means on the ground, follow the money. Under a new fiscal system implemented in 2001, regions are allocated a huge slice of the country's budget to spend more or less as they please. Poor and remote areas receive the most per capita, and those with abundant natural resources get shared extraction revenues. According to the World Bank, regional governments in Indonesia now account for 36 percent of all public expenditures, compared with an average of just 14 percent in all developing countries. And locals can promote whatever agendas they choose. "This is the real revolution," says Erman Rahman, who heads the World Bank's local governance initiatives in the country. Regions with proactive leaders have become laboratories of experimentation from which innovative anti-corruption, public-health and economic-growth initiatives have emerged. For his part, SBY has enabled this process by maintaining macroeconomic discipline and political stability. And his support for local autonomy has undermined separatism, extremism and communal violence.

One regional pioneer, Gamawan Fauzi, took power in West Sumatra's Solok region in 2001 and quickly created a one-stop shop for government services, replacing an opaque and complex web of offices and brokers. Fauzi's concept was to bring all government services under a single roof, post set fees, promote autopayment and guarantee prompt service as a means of rooting out corruption. And it has worked: the model has since been emulated across Indonesia, and Transparency International reports that corruption, while still high, has been reduced substantially.

Other local leaders have earned fame by initiating innovative new programs. Gede Putrayasa, who heads the poorest of nine regencies on the tourist island Bali, won office in 2001 on a pledge to provide universal medical insurance and free education. The latter proved relatively easy (he simply waived the 5,000 rupiah monthly fees), but improving health care without breaking the local budget was tougher. Under the old system, funds went to hospitals and local administrators, who did things like stockpile pharmaceuticals procured from companies that paid kickbacks. Putrayasa's innovation: provide every local household free health insurance that compensates clinics for services actually provided. "There's not a big savings," says Putrayasa, "but everyone is covered and the efficiency is much better because there is no longer any corruption."

Such reforms have stimulated economic growth. Putrayasa's health-care and education initiatives (as well as a jobs program that sends underemployed rice farmers to Japan) have reduced the local poverty rate fourfold to just 5.5 percent today. Better local governance has also made Indonesia a major beneficiary of the global soft commodity boom. Together, the value of its four largest crops—rubber, coconut, palm oil and cocoa—rose from $2.3 billion in 2000 to an estimated $19 billion in 2008, CLSA calculates. That's thanks to local leaders like Fadel Muhammad, governor of the hardscrabble province of Gorontalo on the island Sulawesi, who turned his constituents into the country's best corn farmers by deploying teams of agricultural consultants; providing subsidized seeds, fertilizers and rental machinery to farmers; and giving cash rewards to village leaders who boost yields. Since 2002, Gorontalo's poverty rate has shrunk from 49 to 29 percent.

Of course, decentralization has its problems. Analysts and watchdog groups say that while the number of effective leaders in the 500 local administrations has spiked from a handful to 50 or more under SBY, they are sometimes particularly effective at blocking necessary national reforms and projects. The result, says Ramage, is that progress will be "evolutionary, not revolutionary." For example, the Trans Java highway, which would link Jakarta with Indonesia's second-largest city, Surabaya, was launched in 2004 with a target completion date of 2009, but is still only 10 percent done because of local opposition.

Nonetheless, Indonesia has already become a beacon of stability in Southeast Asia and the Islamic world. Its antiterrorism campaign—Indonesia has shut radical madrassas, established an effective counterterrorism force and cracked down hard on suspected cells, while also avoiding human-rights abuses—is seen as a model for the region. And as the world's most populous Muslim country, Indonesia's democratization has implications from Morocco to Mindanao in that it exemplifies an alternative to zealotry, intolerance and extremism. "Indonesia is not immune to radicalism we see worldwide, but this is exactly why we must maintain our identity as a moderate, tolerant nation," says Yudhoyono. "It enables us to prevent a clash of civilizations."

SBY is likely to win re-election next year, but even if he loses, analysts don't expect any sharp change in policy, because all the major political camps in Jakarta agree on the current reform blueprint. Even India does not enjoy that kind of stable consensus on how to catch China.

29 December 2009

The Best


What makes a man become the best in his field?

Mengapa sesorang berada di puncak, the best, ada banyak alasan mengapa seseorang ada di puncak. Salah satunya adalah karena dia ada di puncak, karena dia sekarang ada di puncak, maka dia bangga akan pencapaiannya dan akan sekuat tenaga untuk mempertahankannya.

Seorang anak SD yang baru masuk berhasil mendapat ranking 1 di kelas 1. Orang tuanya sangat bangga dan memuji si anak di depan semua orang. Si anak menjadi senang dipuji dan dibelikan mainan. Di kelas 2, si anak akan mempertahankan sekuat tenaga apa yang sudah ia peroleh, bukan hanya si anak, ayah dan ibunya pun akan mempertahankan ranking 1 tersebut.


gambar dari www.discoverkingman.com

13 October 2009

Sisi Lain dari Outliers: Tentang Jam Terbang, Kebudayaan dan Kesempatan


Tahun 2008 Malcolm Gladwell menerbitkan buku barunya yang bercerita tentang kesuksesan, buku tersebut diberi judul Outliers, atau terjemahan bebasnya adalah berbeda dari rata-rata. Penulis membuat contoh tentang berbagai Outliers yang ternyata menyimpan rahasia yang sederhana, tidak complicated dan berbeda dari kisah sukses yang lain.

Di awal buku ini Gladwell bercerita tentang sebuah desa bernama Roseta di Amerika Serikat, desa ini memiliki penduduk yang merupakan imigran dari Italia. Keunikan dari desa ini adalah penduduknya sangat sehat dengan angka kematian dan sakit kronis yang sangat rendah. Penyebabnya ternyata sangat sederhana, yaitu di Roseta orang tinggal dalam keluarga besar di sebuah rumah yang besar dan saling bertegur sapa dengan tetangganya dengan baik. Memang terbukti silaturahmi itu memanjangkan usia dan rumah yang luas menentramkan hati.

Di antara kebahagiaan seorang muslim ialah mempunyai tetangga yang shaleh, rumah yang luas dan kendaraan yang meriangkan. (HR. Ahmad dan Al Hakim)

Kisah berikutnya adalah tentang jam terbang, contoh kasusnya adalah Bill Gates, Bill Joy dan The Beatles. Bill Gates bisa seperti saat ini bukan karena satu hal saja, dia sampai ke titik puncak orang terkaya di dunia melalui serangkaian peristiwa, booming personal komputer di 80an, saat Bill Gates tidak terlalu muda untuk memulai usahanya sendiri dan tidak terlalu tua untuk mencoba hal baru. Bersekolah di SMP orang kaya yang mempunyai lab komputer sendiri di tahun 60an, dimana hanya ada 3 Universitas saat itu yang punya Time-Sharing computer. Bil Gates memulai keahliannya di bidang komputer saat masih SMP dan telah menghabiskan lebih dari 10 ribu jam untuk bisa ahli dalam bidang program komputer.

Bill Joy adalah penulis kode awal untuk sistem operasi UNIX dan salah satu pendiri SUN Microsystems. Bill Joy memulai keahliannya di bidang komputer saat masih kuliah semester satu di tahun 60an, saat Universitas Michigan baru saja menjadi salah satu dari 3 universitas yang mempunyai Time-Sharing Computer. Selain itu Bill Joy juga menemukan cara supaya dia bisa menggunakan komputer itu secara gratis selama 24 jam dengan cheat code. Pada tahun dimana PC booming Bill Joy sudah menyelesaikan10 ribu jam latihannya.

The Beatles kesempatan untuk bermain sejak SMP dan hidup di zaman setelah berakhirnya perang dunia kedua, zaman dimana orang butuh hiburan. Kebutuhan yang mengantarkan The Beatles untuk pergi ke Jerman dan bermain sampai 8 jam tiap malamnya. Di Jerman itulah mereka menyelesaikan 10 ribu jam latihannya dan memperoleh kesempatan saat perang telah usai.

Berikutnya adalah cerita tentang pengacara di New York yang sebagian besar adalah orang Yahudi. Setelah perang dunia kedua, pengacara di Amerika didominasi oleh orang kulit putih ras Nordik, untuk bisa bekerja di kantor hukum besar anda harus sekolah di fakultas hukum terkenal, berasal dari latar belakang ras yang tepat dan pergi ke gereja yang tepat. Pengacara Yahudi yang tidak dapat masuk ke Kantor Hukum terkenal tersebut lalu membuat kantor hukum sendiri yang menangani kasus yang ditolak kantor hukum besar. Kasus-kasus itu sebagian besar tentang perebutan perusahaan dan perceraian. Ternyata kemudian, kasus perebutan perusahaan menjadi booming, begitu juga dengan perceraian selebriti dan perebutan harta setelah bercerai. Kantor hukum yang dipegang oleh pengacara Yahudi tadipun akhirnya menjadi jauh terkenal dari kantor hukum yang lain, karena mereka memiliki pengalaman menyelesaikan kasus-kasus seperti itu.


Seseorang mengambil tali-talinya lalu pergi ke bukit dan memikul setumpuk kayu di atas punggungnya lantas menjualnya sehingga dengan demikian Allah mencukupkan baginya [rezeki] yang dibutuhkan (untuk hidupnya) itu adalah lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang-orang lain baik mereka memberikan maupun tidak. (Hadits riwayat Al-Bukhari)


Selanjutnya tentang bagaimana bertani penduduk Cina Selatan mengajari mereka tentang kerja keras. Penduduk cina selatan adalah petani padi yang mendedikasikan seluruh waktunya untuk meningkatkan produksi padi, mereka mampu menhabiskan 15 jam dalam sehari hanya mengurusi padi. Hal ini jauh berbeda dengan Suku di Afrika yang hanya bekerja 1 jam sehari untuk mengumpulkan kacang-kacangan tanpa perlu menanamnya. Budaya kerja keras ini ternyata sampai ke anak cucu mereka yang walau sudah tidak bertani tetapi masih memiliki etos kerja tinggi.

Kisah ditutup dengan bagaimana program KIPP (Knowledge Is Power Program) di New York telah mengubah banyak anak miskin menjadi lebih baik dari sisi pendidikan dari orang tua mereka. Siswa kelas 5 masuk ke sekolah jam 7 pagi dan pulang jam 5 sore, lalu mereka diberikan PR yang bisa selesai minimal jam 9 malam. Selama liburan musim panas mereka masuk setengah hari dan hari sabtu mereka masih harus masuk sekolah.


Umar bin Al-Khaththab r.a. pernah mengatakan, "[Kuharap] jangan ada di antara kalian orang yang berpangku tangan lalu berdoa: 'Ya Allah berikanlah rezeki'. Sebab kalian tahu bahwa langit tidak menurunkan emas dan perak."

30 July 2009

Vegetarian lebih baik?

Beberapa hari ini ada bahasan cukup menarik tentang vegetarian, beberapa kawan sudah mempraktekan hal ini dan mereka selalu mengungkapkan bahwa vegetarian bisa membuat kita tidak malas dan lebih bersemangat. Dalam diskusi di radio kemarin, seorang pembicara membuat sebuah analogi dengan hewan-hewan herbivora dan karnivora dalam menjelaskan keunggulan vegetarian.

Lebih lanjut menurut pembicara di radio tersebut, hewan-hewan herbivora terkenal mampu bangun dan beraktifitas sepanjang hari karena hanya memakan tumbuh-tumbuhan. Gajah dan zebra adalah salah satu yang mampu aktif dan beraktifitas sepanjang hari. Sedangkan hewan-hewan karnivora seperti Macan, setelah menyantap makanannya maka akan tidur dan bermalas-malasan sepanjang hari, atau ular yang setelah memakan hewan lain akan tidur selama berminggu-minggu.

Menurut saya pribadi bukan hanya vegetarian yang berpengaruh terhadap aktifitas seseorang, namun juga banyaknya makanan yang dikonsumsi, jika jumlah yang dikonsumsi sesuai dan tidak berlebihan maka otomatis kegiatan dan aktifitas sehari-hari tidak akan terganggu.

Jadi, silakan memperbanyak makan sayuran dan dalam porsi yang tidak berlebihan.

12 June 2009

Nasehat Ust Rahmat Abdullah ke Pak Tif

“Jadi, akh Tif, berda’wah itu mirip dengan pekerjaan seorang petani. Biji yang ditanam tidak cukup hanya dibenamkan ke tanah lalu ditinggalkan. Kemudian kita berharap akan kembali pada suatu hari untuk memetik hasilnya.
Mustahil itu ! Mustahil !

Tanaman itu harus disiram setiap hari, dijaga, dipelihara, dipagari, bahkan kalau tunas-tunasnya mulai tumbuh, kita harus menungguinya, sebab burung-burung juga berminat pada pucuk-pucuk segar itu.

Jadi, para mad`u (pengikut da’wah) kita harus di-ri’ayah (dirawat), ditumbuhkan, diarahkan, dinasehati sampai dia benar-benar matang. Dijaga alur pembinaannya, ditanamkan motivasi-motivasi, dibangun keikhlasan mereka, didengarkan pendapat-pendapatnya, bahkan kita perlu sesekali bepergian dengannya. Agar kita memahami betul watak kader da’wah kita sebenarnya……”

sumber silmikaffa

01 April 2009

Kekuatan Umat


Hasan Al Banna bernasihat dalam buku Risalah Dakwah, nasihatnya diberikan ketika beliau ditanya tentang apakah Ikhwanul Muslimin akan menggunakan kekuatan politiknya untuk menekan pemerintah. Ustadz Hasan Al Banna menekankan bahwa kekuatan Ikhwanul Muslimin pada dasarnya adalah kekuatan umat yang bukan hanya berarti kekuatan kekuasaan.

Selanjutnya Hasan Al Banna mengungkapkan bahwa kekuatan umat itu dimulai dari tiga hal:
1. Kekuatan Iman dan Aqidah

Dalam bahasa Ust. Anis Matta, kekuatan Iman dan Aqidah adalah kekuatan ide besar dan tujuan hidup seorang muslim. Seorang muslim yang mantap aqidah dan imannya akan berorientasi untuk mendapatkan Ridho Allah SWT dan tidak meributkan hal-hal yang remeh temeh.

Dengan kekuatan iman dan aqidah inilah yang menjadikan Rasulullah dapat meninggal dengan tenang dan meninggalkan keluarganya dengan tenang walau tidak mewariskan apapun dalam bentuk harta benda.

2. Kekuatan Ukhuwah dan Silaturahmi

Rasulullah dalam suatu kisah selalu tahu kepribadian tiap sahabatnya, Utsman yang pemalu, Umar yang tegas dan Abu Bakar yang lembut. Ketika Umar datang berkunjung, Rasulullah bergegas bangun dari tidurnya dan bangkit dengan sikap tegap. Jika berbicara dengan Abu Bakar dan Utsman, Rasulullah berkata-kata dengan lembut.

Rasulullah dalam kisah yang lain selalu dimaki oleh seorang Yahudi dalam perjalanan di Madinah. Namun ketika si Yahudi sakit, Rasulullah lah yang pertama kali datang menjenguk Yahudi yang sakit tersebut.

3. Kekuatan Kekuasaan

Jika dua syarat kekuatan di atas telah dipenuhi maka kekuatan berikutnya adalah kekuatan kekuasaan. Bagaimana Rasulullah membentuk pemerintahan yang adil di Madinah adalah contohnya. Bagaimana Rasulullah menjawab tantangan perang dari Bangsa Romawi adalah contoh lain bagaimana membangun kekuatan melalui kekuasaan.

Ustadz Hasan Al Banna telah tiada, namun ide besarnya tentang kekuatan umat akan menjadi ide besar yang akan tersampaikan pada umat setelahnya.

Selamat membangun kekuatan di 2009

23 March 2009

Dua Mangkuk Berisi Batu dan Pasir

Kisah ini tadinya akan disampaikan ketika acara pengajian pekanan ahad kemarin di rumah. Tetapi karena hujan angin di Depok dan anak-anak nggak dateng, kisah ini saya tulis di blog ini saja.


Alkisah, di sebuah sekolah seorang guru membawa anak-anak muridnya ke lapangan sambil membawa dua buah mangkuk. Pada mangkuk pertama, guru tersebut memasukkan batu-batu besar sampai penuh. Lalu beliau bertanya pada muridnya.

Guru: "Apakah mangkuk ini sudah penuh?"
Murid-murid: "Sudah penuh pak"

Selanjutnya, guru tersebut memasukkan pasir ke dalam mangkuk itu dan pasir itu mengisi celah-celah di antara batu-batu dalam mangkuk. Lalu Sang guru kembali bertanya kepada muridnya.

Guru: "Apakah mangkuk ini sudah penuh?"

Pendapat para murid terpecah antara yang mengatakan tidak dan iya. Sang guru lalu mengisi mangkuk itu dengan air yang mengisi mangkuk tersebut bersama dengan batu dan pasir. Kemudian pak guru membawa mangkuk kedua dan mengisinya dengan pasir. Lalu bertanya pada muridnya.

Guru: "Apakah mangkuk ini dapat diisi dengan batu setelah berisi oleh pasir?"
Murid: "Tidak, Batu tersebut tidak bisa masuk ke dalam mangkuk"

Ketika pikiran kita berisi oleh ide-ide besar maka gagasan-gagasan yan lebih sederhana akan melengkapi ide besar tersebut. Namun, ketika pikiran kita hanya berisi ide-ide kecil dan masalah-masalah remeh, maka ide-ide besar tidak akan masuk dan kita akan disibukkan oleh ide-ide kecil tersebut.



16 March 2009

Umar bin Khattab dan Investasi Property

Sekarang coba lihat Umar bin Khattab ra. dari sisi yang berbeda, bahwa beliau adalah seorang Khalifah yang masyhur yang meluaskan pengaruh Islam sampai ke Al Quds dan Persi. Namun, ternyata dari sejarah dapat kita lihat bahwa Umar juga merupakan seorang investor property, berikut adalah kutipan-kutipannya.

Umar bin Khaththab pernah membeli rumah dari Shofwan bin Umayyah dengan harga 4000 dirham, dengan ketentuan jika Umar rela, maka jual beli dilaksanakan dengan harga tersebut. Jika Umar tidak rela (tidak jadi beli), Shofwan berhak mendapat 400 dirham (10 % dari harga). (Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu' Al-Qadimah wal Mu'ashirah, hal. 84)

24 December 2008

Mendidik Anak

Judulnya berat ya :)
Tapi postingan ini langsung saya tulis di blog, agar dapat dijadikan pengingat di masa yang akan datang. Tulisan aslinya bisa dilihat di warnaislam.com

Perubahan dari Dalam Diri

Ada perasaan yang kurang enak ketika anak kami satu-satunya, Riza, bertanya pada saya.

"Nggak ke luar kota, pa ?"

Ya. Sudah dua minggu saya tidak ke luar kota. Padahal biasanya, ada aja undangan untuk memberikan pelatihan di luar kota, satu atau dua kali seminggu.

"Nggak. Mungkin Minggu depan papa ke Yogya. Kenapa tanya begitu ?" Saya balik bertanya.

"Nggak apa-apa," jawab Riza. Ada nada ragu pada ucapannya.

Tidak ada dialog lanjutan. Rasa kurang enak itu terus bergejolak dalam hati saya. Untuk menjawab perasaan itu, saya berniat untuk bicara tentang hal itu dengan istri, dan juga dengan Maya, pembantu rumah tangga kami.

Tidak ada informasi tambahan ketika saya menanyakan hal ini. Dan tentu saja, saya harus mencari jawaban dari sumber lain. Bertanya langsung, mungkin salah satu cara. Tapi dengan pertimbangan tidak ingin membuatnya terpojok, saya berusaha mencari informasi dengan cara saya sendiri.

Minggu berikutnya, ada undangan untuk pelatihan di Pontianak. Seperti biasa, saya berangkat pagi hari. Setelah pamit pada Riza dan istri, saya berangkat menuju bandara. Untuk kepergian satu atau dua hari, saya terbiasa membawa mobil sendiri, yang saya parkir di area parkir GMF AeroAsia kawasan bandara Internasional Soekarno – Hatta, Cengkareng.

Tak sengaja, ada berkas yang seharusnya saya bawa ke Pontianak, tertinggal. Setelah menyadari hal itu, saya segera memutar arah kendaraan dan kembali ke rumah. Alhamdulillaah. Berkas bisa segera saya temukan. Dari kamar Riza, saya mendengar suara Riza sedang bernyanyi gembira. Dan syair nyanyian itu yang membuat saya seperti mendapat tamparan.

”Papa pergi..... papa pergi.......” Nyanyain itu dilafalkan berulang-ulang. Saya tidak masuk ke kamar Riza. Sementara, biarkan saja ia bergembira, pikir saya.

Dalam perjalanan ke Pontianak, lagu gembira yang dinyanyikan Riza sangat mengganggu saya. Sepertinya, ia begitu gembira ketika papanya pergi. Seharusnya, sebagaimana anak-anak lain, ia merasa sedih ditinggal orang-tuanya. Saya ingat, ketika ia masih berusia enam tahun, saya pernah meninggalkannya dalam waktu cukup lama untuk sekolah di Australia. Ketika itu, ia begitu sedih sekaligus kesal. Sedih, karena saya tidak pernah meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama. Kesal, karena ketika itu saya hanya mengatakan bahwa kepergian saya tidak untuk waktu yang lama. Dan kesedihan dan kekesalan itu ditunjukkannya dengan tidak mau menerima telepon dari saya di luar negeri. Cukup lama istri saya ’merayu’nya, sampai akhirnya ia berkenan bicara lewat telepon, dengan janji membawa oleh-oleh mainan kereta api.

Perjalanan ke Pontianak, adalah perjalanan introspeksi. Dalam perjalanan itu lah saya menyadari bahwa selama ini saya menerapkan disiplin kepadanya dengan sangat ketat. Lepas shalat Maghrib, suka atau tidak suka, televisi saya matikan. Setelah itu, ia pun saya paksa untuk belajar. Kadang dengan marah-marah. Dan bisa jadi, itu membuatnya stres. Beberapa pelajaran di sekolah, mendapatkan nilai yang tidak terlalu baik, sekalipun tidak sampai merah angkanya. Dan nilai-nilai seperti itupun membuat saya jadi semakin sering marah kepadanya. Beberapa kali pula ia tidak saya berikan uang jajan karena alasan yang sama.

Saat itu saya menyadari, bahwa saya sudah membuat sebuah lingkaran setan. Saya membuat siklus marah – nilai buruk – marah lagi – nilai makin buruk dan seterusnya. Dan seterusnya. Dan seperti yang sering saya ajarkan kepada audiens dalam seminar-seminar yang saya pandu, maka saya harus memutus lingkaran setan itu.

Pulang dari Pontianak, saya menemui Riza. Saya ingin mengurangi frekuensi marah, sekaligus memberinya tanggung-jawab yang lebih besar. Saat itu saya katakan kepadanya, bahwa saya tidak akan marah lagi kepadanya, hanya karena alasan tidak mau belajar. Ia bebas menentukan, kapan ia mau belajar. Habis Maghrib mau main game, silahkan saja. Mau menonton televisi, oke-oke saja. Saya hanya akan marah dan memberinya hukuman pada dua kesempatan, yaitu ketika datang saat penerimaan raport. Itu pun kalau nilainya buruk. Kalau nilainya baik, saya akan memberinya reward. Hadiah.

Saya pun mulai mengubah kebiasaan saya. Jika sebelum kejadian itu saya hanya memberinya instruksi dan kemudian masuk kamar, mulai hari itu, kalau saya tidak sedang ke luar kota, saya membaca buku di kamarnya. Istri saya juga kadangkala ikut menemani. Awalnya, ia senang sekali. Habis shalat Maghrib, nonton televisi atau main game. Sesekali ia menjawab SMS dari kawan sekolahnya. Hasilnya, nilai beberapa mata pelajarannya menurun. Dan sesuai janji, saya tidak akan marah atau memberinya hukuman.

Lama-kelamaan, bisa jadi ia risi dengan perilakunya sendiri. Ia asyik bermain-main, sedangkan papa dan atau mamanya ada di sampingnya, sedang belajar. Mungkin juga ia merasa takut, kalau beberapa nilai yang buruk membuat nilai raportnya ikut buruk. Ia pun mulai mengurangi kebiasaan main game atau menonton televisi setelah maghrib. Kami gembira. Rasa tanggung-jawab mulai tumbuh. Tanpa diperintah, ia mulai betah belajar atas kemauan sendiri.

Ada satu pelajaran penting, yang sebenarnya sudah sering saya ajarkan pada orang lain. Kalau kita mau mengubah sikap orang lain, mulailah dengan mengubah diri sendiri. Kita bisa mengubah sikap orang lain dengan cara memaksa, terutama kepada orang-orang yang ada di bawah kuasa kita, misalnya anak-anak atau karyawan kita. Sayangnya, perubahan itu sifatnya tidak langgeng. Dasar dari perubahan itu adalah rasa takut. Ketika kita dekat dengan mereka, mereka akan melakukan apa yang kita minta. Tapi ketika kita tidak ada, bisa jadi mereka meledek kita.

Lain halnya ketika kita mulai melakukan perubahan itu dari sikap kita sendiri. Lupakan marah-marah. Lupakan ancaman memberinya hukuman. Cukup membaca buku di kamarnya. Temani dia ketika bermain dan belajar. Dan lama-kelamaan rasa risi sekaligus tanggung-jawab itu mulai tumbuh. Kesadaran mulai bersemi. Dan kemudian, keinginan belajar pun tidak perlu dipaksakan.

Syukur alhamdulillaah. Anak kami, Riza, mulai menunjukkan prestasi yang cukup tinggi di sekolahnya. Hanya sesekali ia meminta kami untuk membantunya menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya. Nilai-nilai di raportnya sudah bersih dari angka 6. Ranking di kelasnya juga cukup bagus. Tidak sampai double digit. Raport terakhirnya di kelas 7, ia berada dalam urutan tiga besar.

Terus terang, bukan nilai tinggi yang pada awalnya saya inginkan. Yang saya inginkan sejak awal adalah bahwa ia mengubah lagu gembiranya dari ’papa pergi’ menjadi ’papa pulang’. Dan sekali lagi, syukur alhamdulillaah, lagu itu lah yang sekarang lebih sering terdengar. Riza menyanyikannya dengan nada gembira. Dan kami, papa dan mamanya pun mendengarkannya dengan rasa gembira yang lebih tinggi. Kalau pun ada hasil lain yang membanggakan kami, seperti prestasi sekolahnya, itu adalah hasil samping dari sebuah perubahan yang dimulai dari diri sendiri. Dan lagu kami setiap hari adalah lagu ciptaan Iwan Fals. Kemesraan ini, jangan lah cepat berlalu.

04 December 2008

Tips Menabung

Seseorang yang cerdas secara finansial, menabung terlebih dahulu sebelum menghabiskan sisanya
Menabung adalah keniscayaan, sejak kecil kita selalu diajarkan untuk menabung oleh orang tua. Celengan ayam yang hanya bisa diambil dengan dipecahkan terlebih dahulu atau sampai celengan yang bisa digembok. Dulu saya pernah punya celengan bentuk rumah yang bisa digembok agar tidak bisa diambil. Celengan tersebut baru dibuka sekali setahun untuk liburan atau membeli mainan (harusnya dulu diajarin beli saham aja ya :D).

Seharusnya kebiasaan menabung diteruskan ketika seseorang sudah dewasa dan bekerja, lalu uang hasil tabungan tersebut diinvestasikan. Dana investasi dari tabungan itulah yang kelak akan membantu sebagai pensiun di hari tua.

Berikut ini adalah cerita seorang pegawai yang tidak pernah bisa menabung dengan alasan gajinya terlalu kecil, semoga dapat diambil hikmahnya.

Budi seorang pegawai bertemu rekannya untuk meminta nasihat kepada temannya Ahmad yang seorang pengusaha sukses dan investor handal.

Ahmad : Piye kabare?
Budi : Masih gini-gini aja mad
Ahmad : Kamu nggak cocok kerja, cocoknya dagang (kemakan iklan juga :P)

Ok ini yang benernya,

Budi : mad, gw kok nggak bisa sukses kayak lo ya, punya tabungan dan investasi sekaligus.
Ahmad : Ya nabung dong bud, biar bisa punya tabungan dan nanti tabungannya bisa diinvestasiin

Budi : Tapi, gaji selalu habis, nggak pernah nyisa. Lagipula gaji saya kecil, nggak bisa ditabung
Ahmad : Seberapa kecilnya penghasilan kamu, coba deh selalu ditabung tiap bulan. Nabung dulu baru sisanya dihabiskan buat bulanan.

Budi : Tapi bagaimana caranya mad?
Ahmad : Gini bud, tiap hari kamu buat bisa hidup minimal butuh berapa?
Budi : Sekitar 100rb bud
Ahmad : ok, besok kamu beli 30 amplop kosong dan isi setiap amplop itu dengan uang 100rb,
tiap hari kamu ambil amplop itu dan dalam sehari nggak boleh lebih dari satu amplop. kalau sisa amplop kemarin belum habis, nggak usah ambil amplop lagi. Gaji kamu harus diambil buat tabungan terlebih dahulu, lalu sisanya dimasukkan ke amplop dan untuk biaya pembayaran tagihan.

Budi : tapi kalo cuma 100rb, nggak bisa jajan dong mad !
Ahmad: kamu itu mau nabung apa mau jajan?

setelah berjalan satu bulan,

Budi : Mad, ternyata masih ada sisa 3 amplop
Ahmad : Ya sudah, sisa tiga amplop itu kamu bisa pake buat jajan


~pecakapan di atas adalah fiktif adanya
~nominal uang yang dipakai tidak berdasarkan data apapun, apalagi data konsumsi BPS

27 November 2008

Picasso dan Van Gogh

Picasso dan Van Gogh adalah maetro lukisan dunia, masing-masing dari mereka menghasilkan lukisan berharga jutaan dollar, seperti lukisan diri Van Gogh di bawah ini yang dijual US $90 juta. Sedangkan salah satu lukisan Pablo Picasso terakhir dibeli seharga US $ 80 juta pada tahun 1989.



Kedua pelukis tersebut merupakan maestro pelukis pada zamannya. Namun, ternyata keduanya menjalani kehidupan yang amat berbeda, Pablo Picasso hidup dalam kekayaan dan ketenaran, sementara Van Gogh hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.

Van Gogh hidup sebagai seniman yang miskin dan harus menjual murah lukisannya untuk makan, selain itu Van Gogh hidup sendiri dan tidak menikah karena tidak ada wanita yang mau menikah dengan seniman miskin. Bahkan, Van Gogh sampai mengiris kupingnya sendiri untuk menyatakan cintanya kepada seorang wanita dengan harapan si wanita akhirnya kasihan dan mau menikah dengannya, namun yang terjadi si wanita malah ketakutan dan menjauh dari Van Gogh. Van Gogh sendiri tetap menderita sampai akhir hayatnya.

Sementara Pablo Picasso hidup dalam kemewahan, hadir dalam pesta-pesta bangsawan dan menjual lukisannya ke kalangan atas dengan harga mahal. Penjualan karya seni dengan harga mahal inilah yang akhirnya membuat Pablo Picasso hidup mewah dan jauh dari kehidupan seniman seperti Van Gogh.



Lalu apa yang membuat kedua seniman yang memiliki bakat luar biasa tersebut berbeda dalam menjalani kehidupan sebagai seniman. Kemampuan menjual adalah yang membedakan keduanya, Pablo Picasso selalu mengadakan pesta jamuan besar yang dihadiri pejabat, artis dan bangsawan untuk menjual lukisannya, sedangkan Van Gogh menjual lukisannya dengan cara yang biasa.

Pertama, The Market, Pablo Picasso akan mengundang para pejabat dan Bangsawan untuk hadir ke pesta penjualan lukisannya, kepada para bangsawan dan pejabat, Pablo Picasso bilang bahwa banyak artis akan datang ke pestanya, dengan harapan akan bertemu dengan artis maka si pejabat akan hadir. Kepada artis Pablo Picasso bilang bahwa bangsawan dan orang-orang kaya akan hadir, sehingga si artis juga akan datang agar bisa bertemu dengan pejabat dan orang-orang kaya.

Kedua, Endorsement, dalam pesta tersebut setiap orang yang hadir diminta untuk menilai dan memberikan harga pada lukisan Pablo Picasso, karena dalam suasanan pesta dengan orang-orang besar maka pejabat dan artis yang hadir akan memberikan harga yang mahal pada lukisannya.

Source:
Paintings of Picasso and Van Gogh
Marketing Revolution by Tung DW
Setelah semua lukisan diberikan penilaian dan harga, lalu lukisan tersebut dilelang dalam pesta tersebut.

26 November 2008

Jatah Gagal



Jatah Gagal adalah kata lain untuk terus berusaha, setiap orang memiliki jatah gagal, jumlahnya berbeda-beda untuk setiap orang. Ada orang yang memiliki jatah gagal yang sedikit, artinya orang tersebut hanya mengalami sedikit kegagalan untuk akhirnya mencapai kesuksesan.

Namun, ada pula orang yang memiliki jatah gagal yang banyak, sehingga pilihannya antara dua, dia berhenti gagal atau akhirnya dia menjadi sukses setelah jatah gagalnya habis.

Contoh orang yang menjadi sukses setelah menghabiskan jatah gagalnya adalah Thomas Alfa Edison yang ratusan kali gagal sebelum akhirnya sukses membuat bola lampu pertama. Sedangkan contoh orang yang berhenti untuk gagal tak terhitung jumlahnya.

Jadi, mari kita habiskan jatah gagal kita secepatnya, untuk mencapai kesuksesan.

20 November 2008

Ustadz Rahmat Abdullah versi Ust. Ahmad Sarwat

Saya mengenal almarhum Ustadz Rahmat Abdullah tidak sebagaimana umumnya orang kebanyakan mengenal beliau. Saya mengenal beliau bukan hanya sebagai ustadz, tapi juga sebagai teman, kakak, guru dan juga sebagai tetangga satu kampung. Dulu namanya masih kampung, kampung Pedurenan Masjid. Kini nama yang lebih tersohor adalah Kuningan.

Saya ingat sekali dahulu beliau pernah menulis puisi berjudul 'Pedurenan Nan Jelita'. Isinya tentang perasaan miris beliau atas pembangunan pisik yang menggusur perkampungan Islam. Lalu tempat itu berubah jadi hutan beton.

Apa yang beliau khawatirkan di puisinya itu memang sebagiannya menjadi kenyataan. Setidaknya rumah beliau dulu tinggal yang tentunya juga rumah orang tua beliau, kini sudah rata dengan tanah dan sudah jadi gedung bertingkat.

Demikian juga dengan mushalla An-Ni'mah sebagai salah satu mushalla tempat dulu kami mengaji, kini sudah rata dengan tanah dan jadi gedung bertingkat.

Namun madrasah Daarul-Uluum yang disebut-sebut dalam film Sang Murobbi, tempat dimana beliau pernah mengadakan pengajian remaja masjid, masih berdiri tegak. Dan di madrasah Daarul-Uluum itulah kini saya tinggal sejak kami sekeluarga pulang dari Cairo. Waktu itu usia saya masih 2-3 tahun. Ya, pedurenan saat itu adalah sebuah kampung betawi yang lekat dengan nilai-nilai keislaman.

Sekarang saya meneruskan Madrasah Daarul-Uluum yang sudah berdiri dari tahun 1976. Di Madrasah itulah dahulu Ustadz Rahmat Abdullah diangkat menjadi mengajar pengajian tiap malam Senin. Dan di samping madrasah ada masjid, dimana almarhum ayah saya adalah ketua Takmir masjid di depan rumah saya, dan almarhum Ustadz Rahmat adalah ketua remaja masjidnya.

Remaja masjidnya bernama Pemuda Raudhatul Falah, disingkat PARAF. Karena nama masjid di depan rumah saya itu memang bernama Masjid Raudhatul Falah. Masjid Raudhatul Falah dan madrasah Daarul-Uluum, keduanya masih berdiri sampai hari ini. Sesungguhnya di kedua tempat itulah awal mula debut sang Murobbi kita yang satu ini.

Sebagai putera pemilik madrasah dan juga putera Ketua Takmir Masjid, tentu saya kenal Ustadz Rahmat bukan hanya sekilas, tapi memang kami dahulu tiap malam 'nongkrong' bersama.

Yang kami kenal, beliau bukan sekedar sosok ustadz, tetapi juga seorang seniman. Saya pernah main teater dimana beliau jadi penulis naskah sekaligus sutradara. Malam-malam kami latihan teater di lapangan luas, sambil lari-lari memutari lapangan dan latihan vokal.

Saya masih ingat dahulu saya mendapat peran sebagai Abu Mihjan, seorang shahabat yang mati syahid, dalam lakon Darah Para Syuhada. Naskah langsung ditulis oleh beliau, yang pada akhirnya saya ketahui merupakan terjemahan dari naskah asli berbahasa Arab karya Dr. Yusuf Al-Qaradawi.

Usia saya waktu masih belia, masih SMP dan kemudian masuk ke SMA. Pengajian halaqoh yang beliau selenggarakan dimana saya ikut di dalamnya, adalah format pengajian setelah remaja masjid kami dibubarkan oleh pihak pemerintah, karena dianggap merongrong Pancasila dan penguasa. Maklumlah, itu terjadi tahun 80-an, dimana penguasa sangat represif terhadap umat Islam.

Almarhum Ustadz Rahmat menjadi murobbi saya sejak masih SMP, lanjut ke SMA bahkan sampai saya kuliah. Kami mengaji kepada beliau bukan seminggu sekali, tapi tiap malam. Formalnya 3 kali dalam seminggu, yaitu malam Senin, malam rabu khusus bahasa Arab dan hari Ahad pagi khusus para naqib.

Materi 'panah-panah beracun' saya kenal pertama kali dari beliau. Demikian juga buku kecil Al-Ma'tusrat dan tafsir Fi Dzhilalil Quran. Ustadz Rahmat sebenarnya lebih merupakan seorang otodidak, karena bahkan jenjang madrasah 'aliyah pun tidak sempat lulus.

Sebenarnya beliau punya guru yang banyak, bukan hanya satu orang. Beliau adalah santri di perguruan Asy-Syafi'iyah Bali Matraman. Beliau adalah santri kesayangan kiyai Abdullah Syafi'i, ulama betawi kondang yang legendaris itu. Sayang karena masalah finansial, beliau urung diberangkatkan ke Mesir, negeri impian beliau untuk meneruskan menuntut ilmu. Beda nasib dengan senior beliau, Ustadz Bakir Said yang juga santri kesayangan kiyai Abdullah Syafi'i dan berhasil sampai ke Mesir.

Tapi semangat belajar almarhum tidak surut. Beliau banyak membaca, apalagi kemampuan bahasa arab beliau lumayan, banyak buku berbahasa arab yang beliau lahap. Teman-temannya dari Mesir juga rajin mengirimi kitab, termasuk kitab-kitab harakah Ikhwanul Muslimin.

Lepas dari keustadzannya, almarhum saya kenal juga sebagai pemuda yang awalnya dulu juga masih merokok. Kalau tidak salah, rokoknya Marlboro. Wah jadi buka kartu nih. Tapi setelah itu beliau sama sekali meninggalkan rokok, dan melarang murid-muridnya merokok. Tapi tidak semua kami patuh, ada juga yang bandel.

Kalau ustadz tidak ada, beberapa dari kami ada yang dengan santainya merokok. Eh, tiba-tiba ustadz datang, maka rokok-rokok itu dibuang, takut ketahuan. Tapi ada satu teman yang waktu itu tidak sempat membuang rokok, entah kaget entah bingung, rokok masih menyala dimasukkan kantong. kontan dia melompat-lompat kepanasan. Yah, ketahuan juga akhirnya.

Saya mengenal beliau saat beliau masih bujangan. Saat itu saya tahu beliau sedang dalam proses berkenalan dengan salah satu murid beliau yang saya juga kenal langsung. Walau akhirnya beliau tidak jadi menikahinya dan menikahi murid beliau yang lain. Tapi kenangan itu masih jelas dalam ingatan saya. Yang menarik, di hari walimah pun, beliau tetap ceramah berpidato di hadapan hadirin tamu undangan. Hihihi, pengantin kok ceramah. Lucu juga ya.

Oh ya, beliau terkenal kalau ceramah tidak bisa sebentar. Bahasa yang beliau pakai pun juga bahasa langit. Jadi sebenarnya buat kami saat itu, tidak semua yang beliau ceramahkan, bisa kami pahami dengan mudah. Sebagiannya merupakan bahasa perlambang, yang selesai pengajian, kita diskusi lagi membahas apa yang tadi beliau maksudkan. Lucu juga ya, ngaji kok nggak paham.

Yang konyol tapi lucu, kalau beliau Khutbah Jumat. Lamaaaa dan panjaaang. Sebagian jamaah yang tidak kenal beliau kadang suka marah-marah. Sampai akhirnya saat doa dibacakan, mereka pun mengucapkan 'amin' dengan sekeras-kerasnya. Mungkin kesel kali ya, khutbah kok lama banget.

Tapi ya itulah ustadz Rahmat Abdullah. Sosok yang kini jadi legenda. Sepanjang yang saya ketahui, beliau tidak sampai mengaji dalam arti halaqoh dengan ustadz Hilmi. Karena Ustadz Rahmat sudah jadi ustadz kondang saat Ustadz Himi baru pulang dari Saudi Arabia. Dan meski secara formal beliau tidak duduk di bangku kuliah dan juga tidak pernah tinggal di Arab, namun beliau baca buku cukup banyak. Ilmunya luas dan boleh diadu dengan para sarjana dari timur tengah.

Tentu Ustadz Rahmat berinteraksi dengan Ustadz Hilmi dalam kancah harakah Islamiyah. Namun posisinya tidak sebagai murobbi dan mad'u. Sebab boleh dibilang, muridnya ustadz Rahmat lebih banyak dari muridnya Ustadz Hilmi saat awal mulanya. Namun keduanya kemudian aktif dalam kancah tarbiyah, dan membina umat lewat berbagai macam halaqah dan daurah.

Kelebihan Ustadz Rahmat dari semua murobbi lainnya adalah beliau seorang yang menguasai ilmu-ilmu keislaman secara baik, walau lewat jalur pesantren tradisonal. Beliau belajar ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqih dan seterusnya. Sementara para murobbi yang lain cuma bermodal materi panah-panah saja dan semangat 45-nya.

Ketika beliau mulai membina dengan sistem halaqoh, beliau sudah punya murid dimana-mana. Sebaliknya, ustadz-ustadz yang baru pulang dari timur tengah belum punya murid. Lagian, gaya halaqoh di Arab sana sangat beda dengan gaya halaqah di Indonesia.

Di Arab, murabbinya memang para masyaikh, semua anggota halaqah adalah mahasiwa yang melek huruf Arab. Jadi modelnya mereka baca kitab tertentu. Saya tahu gaya itu karena saya pernah diikutkan dengan halaqah khas gaya Arab. Menarik memang dan jauh lebih ilmmiyah.

Sementara para murabbi di negeri kita, tidak bisa bahasa arab dan mereka bukan pembaca buku yang baik. Maka ustadz Hilmi membuat materi panah-panah itu, yang kemudian saya sadari bahwa semua itu adalah materi aqidah dan fiqhuddakwah. Tidak ada materi ulumul Islam seperti Fiqih, Ushul, Tafsir, Hadits dan lainnya.


dari warnaislam.com

13 November 2008

John Lie dan Angkatan Laut

Menyambut Hari Pahlawan 10 November 2008

Buku suntingan Kusniyati Mochtar yang diberi pengantar Ali Alatas (Memoar Pejuang Republika Indonesia seputar ?Zaman Singapura' 1945-1950, Gramedia Pustaka Utama, 1992) mengungkapkan secara panjang lebar peran John Lie dalam menembus blokade Belanda setelah Indonesia merdeka.

John Lie yang lahir di Manado, 9 Maret 1911 adalah mualim pada kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang kemudian bergabung dengan Angkatan Laut RI. Pada mulanya, ia bertugas di Cilacap dengan pangkat kelasi kelas tiga. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan sekutu.

Selanjutnya ia ditugasi mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang masih tipis waktu itu. Pada masa awal (1947), ia membawa karet seberat 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan.

Sejak itulah ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Kemudian sejata tersebut diserahkan kepada pejabat republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan tentara Belanda. Untuk keperluan operasi ini John Lie memiliki kapal kecil cepat yang dinamakan The Outlaw.

Pada awal 1950, ketika berada di Bangkok, John Lie dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugasi sebagai komandan kapal perang Rajawali. Pada 1950 Soumokil memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS). Upaya damai dilakukan pemerintah dengan mengirim Dr Leimena, tetapi tidak membuahkan hasil.

Pada 1 Mei 1950, dilakukan blokade di perairan Ambon antara lain oleh kapal korvet RI Rajawali yang dipimpin Mayor John Lie. Karena terkepung, pasukan RMS merampas harta benda dan makanan dari penduduk. Maka penduduk mendekati kapal perang ALI dan meminta bantuan.

Kapal RI Rajawali sempat mengungsikan 4.200 penduduk yang ingin pindah karena diintimidasi pasukan RMS. Tahap berikutnya adalah penumpasan pemberontak RMS. Pendaratan pasukan ALRI yang antara lain menggunakan RI Rajawali dilakukan pada 13 dan 21 Juli di tiga tempat, yakni Pulau Buru, Pulau Seram, dan Pulau Piru. John Lie juga memimpin kapal Rawajali dalam melakukan pendaratan di Ambon September 1950.

Pada 28 April 1956, John Lie menikah dengan seorang pendeta Margareth Angkuw di Jakarta. Tampaknya pengabdian kepada negara telah banyak menyita waktu John Lie sehingga ia baru menikah pada usia 45 tahun. Pada masa berikut, ia aktif dalam penumpasan PRRI dan Permesta pada 1958. Dalam penumpasan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), Letnan Kolonel John Lie memimpin Amphibious TaskForce17 yang terdiri atas 6 kapal perang dan satu batalion KKO.

Kapal- kapal itu membombardir Kota Padang dan kemudian pasukan KKO melakukan pendaratan. Dalam penumpasan Permesta (Perjuangan Semesta) John Lie memimpin Amphibious Task 25 yang terdiri atas 17 kapal perang dan satu batalion KKO. John Lie yang dikenal juga dengan nama Jahya Daniel Dharma tetap berdinas pada Angkatan Laut, terakhir dengan pangkat laksamana muda. Selanjutnya ia bergerak dalam bidang sosial dan keagamaan sampai akhir hayatnya.

Hubungan John Lie dan Proklamator Bung Hatta terlihat dari pertemuan keduanya di Singapura sebelum Bung Hatta menghadiri Konferensi Meja Bundar pada 1949. Selanjutnya hubungan dengan keluarga Bung Hatta tetap erat sampai akhir hayat.

Menjelang 17 Agustus 1988 John Lie mengirimkan karangan bunga atas ulang tahun Bung Hatta (12 Agustus) dan ulang tahun kemerdekaan RI (17 Agustus). Pada 19 Agustus 1988, Rahmi Hatta mengucapkan terima kasih atas perhatian John Lie dan menyampaikan,"Kami sekeluarga juga tak lupa atas jasa-jasa John Lie dalam perjuangan membela Tanah Air kita tercinta dan atas keberanian membela hak kita."

Delapan hari kemudian (27 Agustus 1988) setelah menerima surat dari Rahmi Hatta, John Lie berangkat menembus blokade keduniaan memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa. Rest in Peace.



Referensi:
Tulisan Asvi Warman Adam

Sesungguhnya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya
Terima kasih para pahlawan bangsa.

13 October 2008

Ramadhan Mengajarakan 3 Hal


Ramadhan baru saja usai, namun untuk Ramadhan tidak hanya berlalu sebagai sebuah ritual tahunan tanpa makna. Lebih dari itu Ramadhan mengajarkan kepada kita semua bagaimana menjadi Hamba yang bertakwa. Ramadhan seyogyanya memberikan bekas kepada bulan-bulan berikutnya, hingga akhirnya kita dapat bertemu kembali dengan Ramadhan tahun depan.

Ramadhan mengajarkan kepada kita semua 3 hal yang harus kita evaluasi di bulan Syawal ini:
1. Memperkuat ketakwaan dan menjauhi maksiat.

Khalifah Umar ibn Khattab ra. pernah menulis surat kepada Panglima perang kaum muslimin yang akan menyerbu Persia (Iran saat ini) Saad ibn Abi Waqqash. Isi surat tersebut intinya.

"Selalu bertakwa kepada Allah, jauhi maksiat. Jumlah musuh kaum muslimin lebih banyak dari pasukan muslim. Jika dosa dan kemaksiatan yang dilakukan pasukan muslim sama dengan pasukan musuh, maka kalian akan kalah, karena mereka lebih unggul dari segi jumlah dan senjata. Maka hendaklah kalian lebih takut terhadap kemaksiatan yang kalian lakukan ketimbang jumlah pasukan musuh yang lebih banyak."

2. Hidup Sederhana dan Perbanyak Infaq

Warren Buffet, manusia nomor 1 paling kaya versi Forbes, masih menyetir sendiri mobilnya dari rumah ke kantornya di Omaha.

Pemimpin jamaah terbesar di Mesir, Imam Syahid Hasan Al Banna, suatu ketika pernah dijumpai oleh seorang petugas kereta api di Mesir naik kereta api Ekonomi kelas 3.

Kereta kelas ekonomi kelas tiga berisi para pedagang yang bercampur dengan barang dagangannya serta binatang-binatang ternak, sehingga sangat tidak nyaman. Ketika ditanya, "Mengapa pemimpin jamaah paling besar di Mesir seperti anda naik kereta kelas 3 seperti ini?", Imam Syahid Hasan Al Banna sambil tersenyum dan menjawab, "Karena tidak ada kelas yang lebih rendah dari ini".

3. Haus akan Ilmu

Presiden pertama Amerika Serikat, Jendral George Washington, Diriwayatkan hidup selama 67 tahun dan semasa hidupnya telah membaca 1000 buku dan menulis 40.000 surat.

Shalahuddin al-Ayubbi hafal Quran sebelum ditunjuk sebagai Panglima perang yang akan menyerbu Mesir.

Imam Ali ibn Abi Thalib terkenal dengan perkataannya, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya".

Imam Syafii bukan hanya membaca kitab-kitab Ilmu, tetapi juga menghafalnya. Dalam Islam, seorang ilmuwan bukan saja harus banyak membaca dan menulis, namun juga menghafal.


Wallahu 'alam