05 January 2016
Kepemimpinan: Manajemen Emosi
05 October 2010
Bekerja Keras
21 September 2010
Kesederhanaan
Gaji pokok seorang anggota polisi dengan pangkat kompol adalah sekitar 2 juta rupiah, dengan tunjangan lain-lain dalam sebulan kira-kira take home pay-nya adalah 5-8 juta rupiah, dengan gaji sebesar itu seorang suami dapat memiliki sebuah rumah dan kendaraan sederhana (dengan menyicil tentunya).
31 January 2010
Bumi Badai Peradaban
30 December 2009
Indonesia as the New India
29 December 2009
The Best
What makes a man become the best in his field?

13 October 2009
Sisi Lain dari Outliers: Tentang Jam Terbang, Kebudayaan dan Kesempatan

Di antara kebahagiaan seorang muslim ialah mempunyai tetangga yang shaleh, rumah yang luas dan kendaraan yang meriangkan. (HR. Ahmad dan Al Hakim)
Seseorang mengambil tali-talinya lalu pergi ke bukit dan memikul setumpuk kayu di atas punggungnya lantas menjualnya sehingga dengan demikian Allah mencukupkan baginya [rezeki] yang dibutuhkan (untuk hidupnya) itu adalah lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang-orang lain baik mereka memberikan maupun tidak. (Hadits riwayat Al-Bukhari)
Umar bin Al-Khaththab r.a. pernah mengatakan, "[Kuharap] jangan ada di antara kalian orang yang berpangku tangan lalu berdoa: 'Ya Allah berikanlah rezeki'. Sebab kalian tahu bahwa langit tidak menurunkan emas dan perak."
30 July 2009
Vegetarian lebih baik?
12 June 2009
Nasehat Ust Rahmat Abdullah ke Pak Tif
Mustahil itu ! Mustahil !
Tanaman itu harus disiram setiap hari, dijaga, dipelihara, dipagari, bahkan kalau tunas-tunasnya mulai tumbuh, kita harus menungguinya, sebab burung-burung juga berminat pada pucuk-pucuk segar itu.
Jadi, para mad`u (pengikut da’wah) kita harus di-ri’ayah (dirawat), ditumbuhkan, diarahkan, dinasehati sampai dia benar-benar matang. Dijaga alur pembinaannya, ditanamkan motivasi-motivasi, dibangun keikhlasan mereka, didengarkan pendapat-pendapatnya, bahkan kita perlu sesekali bepergian dengannya. Agar kita memahami betul watak kader da’wah kita sebenarnya……”
sumber silmikaffa
23 April 2009
01 April 2009
Kekuatan Umat

Selanjutnya Hasan Al Banna mengungkapkan bahwa kekuatan umat itu dimulai dari tiga hal:
1. Kekuatan Iman dan Aqidah
Dalam bahasa Ust. Anis Matta, kekuatan Iman dan Aqidah adalah kekuatan ide besar dan tujuan hidup seorang muslim. Seorang muslim yang mantap aqidah dan imannya akan berorientasi untuk mendapatkan Ridho Allah SWT dan tidak meributkan hal-hal yang remeh temeh.
Dengan kekuatan iman dan aqidah inilah yang menjadikan Rasulullah dapat meninggal dengan tenang dan meninggalkan keluarganya dengan tenang walau tidak mewariskan apapun dalam bentuk harta benda.
2. Kekuatan Ukhuwah dan Silaturahmi
Rasulullah dalam suatu kisah selalu tahu kepribadian tiap sahabatnya, Utsman yang pemalu, Umar yang tegas dan Abu Bakar yang lembut. Ketika Umar datang berkunjung, Rasulullah bergegas bangun dari tidurnya dan bangkit dengan sikap tegap. Jika berbicara dengan Abu Bakar dan Utsman, Rasulullah berkata-kata dengan lembut.
Rasulullah dalam kisah yang lain selalu dimaki oleh seorang Yahudi dalam perjalanan di Madinah. Namun ketika si Yahudi sakit, Rasulullah lah yang pertama kali datang menjenguk Yahudi yang sakit tersebut.
3. Kekuatan Kekuasaan
Jika dua syarat kekuatan di atas telah dipenuhi maka kekuatan berikutnya adalah kekuatan kekuasaan. Bagaimana Rasulullah membentuk pemerintahan yang adil di Madinah adalah contohnya. Bagaimana Rasulullah menjawab tantangan perang dari Bangsa Romawi adalah contoh lain bagaimana membangun kekuatan melalui kekuasaan.
Ustadz Hasan Al Banna telah tiada, namun ide besarnya tentang kekuatan umat akan menjadi ide besar yang akan tersampaikan pada umat setelahnya.
Selamat membangun kekuatan di 2009
23 March 2009
Dua Mangkuk Berisi Batu dan Pasir

Alkisah, di sebuah sekolah seorang guru membawa anak-anak muridnya ke lapangan sambil membawa dua buah mangkuk. Pada mangkuk pertama, guru tersebut memasukkan batu-batu besar sampai penuh. Lalu beliau bertanya pada muridnya.
Guru: "Apakah mangkuk ini sudah penuh?"
Murid-murid: "Sudah penuh pak"
Selanjutnya, guru tersebut memasukkan pasir ke dalam mangkuk itu dan pasir itu mengisi celah-celah di antara batu-batu dalam mangkuk. Lalu Sang guru kembali bertanya kepada muridnya.
Guru: "Apakah mangkuk ini sudah penuh?"
Pendapat para murid terpecah antara yang mengatakan tidak dan iya. Sang guru lalu mengisi mangkuk itu dengan air yang mengisi mangkuk tersebut bersama dengan batu dan pasir. Kemudian pak guru membawa mangkuk kedua dan mengisinya dengan pasir. Lalu bertanya pada muridnya.
Guru: "Apakah mangkuk ini dapat diisi dengan batu setelah berisi oleh pasir?"
Murid: "Tidak, Batu tersebut tidak bisa masuk ke dalam mangkuk"
Ketika pikiran kita berisi oleh ide-ide besar maka gagasan-gagasan yan lebih sederhana akan melengkapi ide besar tersebut. Namun, ketika pikiran kita hanya berisi ide-ide kecil dan masalah-masalah remeh, maka ide-ide besar tidak akan masuk dan kita akan disibukkan oleh ide-ide kecil tersebut.
16 March 2009
Umar bin Khattab dan Investasi Property
Umar bin Khaththab pernah membeli rumah dari Shofwan bin Umayyah dengan harga 4000 dirham, dengan ketentuan jika Umar rela, maka jual beli dilaksanakan dengan harga tersebut. Jika Umar tidak rela (tidak jadi beli), Shofwan berhak mendapat 400 dirham (10 % dari harga). (Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu' Al-Qadimah wal Mu'ashirah, hal. 84)
24 December 2008
Mendidik Anak
Tapi postingan ini langsung saya tulis di blog, agar dapat dijadikan pengingat di masa yang akan datang. Tulisan aslinya bisa dilihat di warnaislam.com
Perubahan dari Dalam Diri
Ada perasaan yang kurang enak ketika anak kami satu-satunya, Riza, bertanya pada saya."Nggak ke luar kota, pa ?"
Ya. Sudah dua minggu saya tidak ke luar kota. Padahal biasanya, ada aja undangan untuk memberikan pelatihan di luar kota, satu atau dua kali seminggu.
"Nggak. Mungkin Minggu depan papa ke Yogya. Kenapa tanya begitu ?" Saya balik bertanya.
"Nggak apa-apa," jawab Riza. Ada nada ragu pada ucapannya.
Tidak ada dialog lanjutan. Rasa kurang enak itu terus bergejolak dalam hati saya. Untuk menjawab perasaan itu, saya berniat untuk bicara tentang hal itu dengan istri, dan juga dengan Maya, pembantu rumah tangga kami.
Tidak ada informasi tambahan ketika saya menanyakan hal ini. Dan tentu saja, saya harus mencari jawaban dari sumber lain. Bertanya langsung, mungkin salah satu cara. Tapi dengan pertimbangan tidak ingin membuatnya terpojok, saya berusaha mencari informasi dengan cara saya sendiri.
Minggu berikutnya, ada undangan untuk pelatihan di Pontianak. Seperti biasa, saya berangkat pagi hari. Setelah pamit pada Riza dan istri, saya berangkat menuju bandara. Untuk kepergian satu atau dua hari, saya terbiasa membawa mobil sendiri, yang saya parkir di area parkir GMF AeroAsia kawasan bandara Internasional Soekarno – Hatta, Cengkareng.
Tak sengaja, ada berkas yang seharusnya saya bawa ke Pontianak, tertinggal. Setelah menyadari hal itu, saya segera memutar arah kendaraan dan kembali ke rumah. Alhamdulillaah. Berkas bisa segera saya temukan. Dari kamar Riza, saya mendengar suara Riza sedang bernyanyi gembira. Dan syair nyanyian itu yang membuat saya seperti mendapat tamparan.
”Papa pergi..... papa pergi.......” Nyanyain itu dilafalkan berulang-ulang. Saya tidak masuk ke kamar Riza. Sementara, biarkan saja ia bergembira, pikir saya.
Dalam perjalanan ke Pontianak, lagu gembira yang dinyanyikan Riza sangat mengganggu saya. Sepertinya, ia begitu gembira ketika papanya pergi. Seharusnya, sebagaimana anak-anak lain, ia merasa sedih ditinggal orang-tuanya. Saya ingat, ketika ia masih berusia enam tahun, saya pernah meninggalkannya dalam waktu cukup lama untuk sekolah di Australia. Ketika itu, ia begitu sedih sekaligus kesal. Sedih, karena saya tidak pernah meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama. Kesal, karena ketika itu saya hanya mengatakan bahwa kepergian saya tidak untuk waktu yang lama. Dan kesedihan dan kekesalan itu ditunjukkannya dengan tidak mau menerima telepon dari saya di luar negeri. Cukup lama istri saya ’merayu’nya, sampai akhirnya ia berkenan bicara lewat telepon, dengan janji membawa oleh-oleh mainan kereta api.
Perjalanan ke Pontianak, adalah perjalanan introspeksi. Dalam perjalanan itu lah saya menyadari bahwa selama ini saya menerapkan disiplin kepadanya dengan sangat ketat. Lepas shalat Maghrib, suka atau tidak suka, televisi saya matikan. Setelah itu, ia pun saya paksa untuk belajar. Kadang dengan marah-marah. Dan bisa jadi, itu membuatnya stres. Beberapa pelajaran di sekolah, mendapatkan nilai yang tidak terlalu baik, sekalipun tidak sampai merah angkanya. Dan nilai-nilai seperti itupun membuat saya jadi semakin sering marah kepadanya. Beberapa kali pula ia tidak saya berikan uang jajan karena alasan yang sama.
Saat itu saya menyadari, bahwa saya sudah membuat sebuah lingkaran setan. Saya membuat siklus marah – nilai buruk – marah lagi – nilai makin buruk dan seterusnya. Dan seterusnya. Dan seperti yang sering saya ajarkan kepada audiens dalam seminar-seminar yang saya pandu, maka saya harus memutus lingkaran setan itu.
Pulang dari Pontianak, saya menemui Riza. Saya ingin mengurangi frekuensi marah, sekaligus memberinya tanggung-jawab yang lebih besar. Saat itu saya katakan kepadanya, bahwa saya tidak akan marah lagi kepadanya, hanya karena alasan tidak mau belajar. Ia bebas menentukan, kapan ia mau belajar. Habis Maghrib mau main game, silahkan saja. Mau menonton televisi, oke-oke saja. Saya hanya akan marah dan memberinya hukuman pada dua kesempatan, yaitu ketika datang saat penerimaan raport. Itu pun kalau nilainya buruk. Kalau nilainya baik, saya akan memberinya reward. Hadiah.
Saya pun mulai mengubah kebiasaan saya. Jika sebelum kejadian itu saya hanya memberinya instruksi dan kemudian masuk kamar, mulai hari itu, kalau saya tidak sedang ke luar kota, saya membaca buku di kamarnya. Istri saya juga kadangkala ikut menemani. Awalnya, ia senang sekali. Habis shalat Maghrib, nonton televisi atau main game. Sesekali ia menjawab SMS dari kawan sekolahnya. Hasilnya, nilai beberapa mata pelajarannya menurun. Dan sesuai janji, saya tidak akan marah atau memberinya hukuman.
Lama-kelamaan, bisa jadi ia risi dengan perilakunya sendiri. Ia asyik bermain-main, sedangkan papa dan atau mamanya ada di sampingnya, sedang belajar. Mungkin juga ia merasa takut, kalau beberapa nilai yang buruk membuat nilai raportnya ikut buruk. Ia pun mulai mengurangi kebiasaan main game atau menonton televisi setelah maghrib. Kami gembira. Rasa tanggung-jawab mulai tumbuh. Tanpa diperintah, ia mulai betah belajar atas kemauan sendiri.
Ada satu pelajaran penting, yang sebenarnya sudah sering saya ajarkan pada orang lain. Kalau kita mau mengubah sikap orang lain, mulailah dengan mengubah diri sendiri. Kita bisa mengubah sikap orang lain dengan cara memaksa, terutama kepada orang-orang yang ada di bawah kuasa kita, misalnya anak-anak atau karyawan kita. Sayangnya, perubahan itu sifatnya tidak langgeng. Dasar dari perubahan itu adalah rasa takut. Ketika kita dekat dengan mereka, mereka akan melakukan apa yang kita minta. Tapi ketika kita tidak ada, bisa jadi mereka meledek kita.
Lain halnya ketika kita mulai melakukan perubahan itu dari sikap kita sendiri. Lupakan marah-marah. Lupakan ancaman memberinya hukuman. Cukup membaca buku di kamarnya. Temani dia ketika bermain dan belajar. Dan lama-kelamaan rasa risi sekaligus tanggung-jawab itu mulai tumbuh. Kesadaran mulai bersemi. Dan kemudian, keinginan belajar pun tidak perlu dipaksakan.
Syukur alhamdulillaah. Anak kami, Riza, mulai menunjukkan prestasi yang cukup tinggi di sekolahnya. Hanya sesekali ia meminta kami untuk membantunya menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya. Nilai-nilai di raportnya sudah bersih dari angka 6. Ranking di kelasnya juga cukup bagus. Tidak sampai double digit. Raport terakhirnya di kelas 7, ia berada dalam urutan tiga besar.
Terus terang, bukan nilai tinggi yang pada awalnya saya inginkan. Yang saya inginkan sejak awal adalah bahwa ia mengubah lagu gembiranya dari ’papa pergi’ menjadi ’papa pulang’. Dan sekali lagi, syukur alhamdulillaah, lagu itu lah yang sekarang lebih sering terdengar. Riza menyanyikannya dengan nada gembira. Dan kami, papa dan mamanya pun mendengarkannya dengan rasa gembira yang lebih tinggi. Kalau pun ada hasil lain yang membanggakan kami, seperti prestasi sekolahnya, itu adalah hasil samping dari sebuah perubahan yang dimulai dari diri sendiri. Dan lagu kami setiap hari adalah lagu ciptaan Iwan Fals. Kemesraan ini, jangan lah cepat berlalu.
04 December 2008
Tips Menabung
Seseorang yang cerdas secara finansial, menabung terlebih dahulu sebelum menghabiskan sisanyaMenabung adalah keniscayaan, sejak kecil kita selalu diajarkan untuk menabung oleh orang tua. Celengan ayam yang hanya bisa diambil dengan dipecahkan terlebih dahulu atau sampai celengan yang bisa digembok. Dulu saya pernah punya celengan bentuk rumah yang bisa digembok agar tidak bisa diambil. Celengan tersebut baru dibuka sekali setahun untuk liburan atau membeli mainan (harusnya dulu diajarin beli saham aja ya :D).
Seharusnya kebiasaan menabung diteruskan ketika seseorang sudah dewasa dan bekerja, lalu uang hasil tabungan tersebut diinvestasikan. Dana investasi dari tabungan itulah yang kelak akan membantu sebagai pensiun di hari tua.
Berikut ini adalah cerita seorang pegawai yang tidak pernah bisa menabung dengan alasan gajinya terlalu kecil, semoga dapat diambil hikmahnya.
Budi seorang pegawai bertemu rekannya untuk meminta nasihat kepada temannya Ahmad yang seorang pengusaha sukses dan investor handal.
Ahmad : Piye kabare?
Budi : Masih gini-gini aja mad
Ahmad : Kamu nggak cocok kerja, cocoknya dagang (kemakan iklan juga :P)
Ok ini yang benernya,
Budi : mad, gw kok nggak bisa sukses kayak lo ya, punya tabungan dan investasi sekaligus.
Ahmad : Ya nabung dong bud, biar bisa punya tabungan dan nanti tabungannya bisa diinvestasiin
Budi : Tapi, gaji selalu habis, nggak pernah nyisa. Lagipula gaji saya kecil, nggak bisa ditabung
Ahmad : Seberapa kecilnya penghasilan kamu, coba deh selalu ditabung tiap bulan. Nabung dulu baru sisanya dihabiskan buat bulanan.
Budi : Tapi bagaimana caranya mad?
Ahmad : Gini bud, tiap hari kamu buat bisa hidup minimal butuh berapa?
Budi : Sekitar 100rb bud
Ahmad : ok, besok kamu beli 30 amplop kosong dan isi setiap amplop itu dengan uang 100rb,
tiap hari kamu ambil amplop itu dan dalam sehari nggak boleh lebih dari satu amplop. kalau sisa amplop kemarin belum habis, nggak usah ambil amplop lagi. Gaji kamu harus diambil buat tabungan terlebih dahulu, lalu sisanya dimasukkan ke amplop dan untuk biaya pembayaran tagihan.
Budi : tapi kalo cuma 100rb, nggak bisa jajan dong mad !
Ahmad: kamu itu mau nabung apa mau jajan?
setelah berjalan satu bulan,
Budi : Mad, ternyata masih ada sisa 3 amplop
Ahmad : Ya sudah, sisa tiga amplop itu kamu bisa pake buat jajan
~pecakapan di atas adalah fiktif adanya
~nominal uang yang dipakai tidak berdasarkan data apapun, apalagi data konsumsi BPS
27 November 2008
Picasso dan Van Gogh
Kedua pelukis tersebut merupakan maestro pelukis pada zamannya. Namun, ternyata keduanya menjalani kehidupan yang amat berbeda, Pablo Picasso hidup dalam kekayaan dan ketenaran, sementara Van Gogh hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.
Van Gogh hidup sebagai seniman yang miskin dan harus menjual murah lukisannya untuk makan, selain itu Van Gogh hidup sendiri dan tidak menikah karena tidak ada wanita yang mau menikah dengan seniman miskin. Bahkan, Van Gogh sampai mengiris kupingnya sendiri untuk menyatakan cintanya kepada seorang wanita dengan harapan si wanita akhirnya kasihan dan mau menikah dengannya, namun yang terjadi si wanita malah ketakutan dan menjauh dari Van Gogh. Van Gogh sendiri tetap menderita sampai akhir hayatnya.
Sementara Pablo Picasso hidup dalam kemewahan, hadir dalam pesta-pesta bangsawan dan menjual lukisannya ke kalangan atas dengan harga mahal. Penjualan karya seni dengan harga mahal inilah yang akhirnya membuat Pablo Picasso hidup mewah dan jauh dari kehidupan seniman seperti Van Gogh.
Lalu apa yang membuat kedua seniman yang memiliki bakat luar biasa tersebut berbeda dalam menjalani kehidupan sebagai seniman. Kemampuan menjual adalah yang membedakan keduanya, Pablo Picasso selalu mengadakan pesta jamuan besar yang dihadiri pejabat, artis dan bangsawan untuk menjual lukisannya, sedangkan Van Gogh menjual lukisannya dengan cara yang biasa.
Pertama, The Market, Pablo Picasso akan mengundang para pejabat dan Bangsawan untuk hadir ke pesta penjualan lukisannya, kepada para bangsawan dan pejabat, Pablo Picasso bilang bahwa banyak artis akan datang ke pestanya, dengan harapan akan bertemu dengan artis maka si pejabat akan hadir. Kepada artis Pablo Picasso bilang bahwa bangsawan dan orang-orang kaya akan hadir, sehingga si artis juga akan datang agar bisa bertemu dengan pejabat dan orang-orang kaya.
Kedua, Endorsement, dalam pesta tersebut setiap orang yang hadir diminta untuk menilai dan memberikan harga pada lukisan Pablo Picasso, karena dalam suasanan pesta dengan orang-orang besar maka pejabat dan artis yang hadir akan memberikan harga yang mahal pada lukisannya.
Source:
Paintings of Picasso and Van Gogh
Marketing Revolution by Tung DW
Setelah semua lukisan diberikan penilaian dan harga, lalu lukisan tersebut dilelang dalam pesta tersebut.
26 November 2008
Jatah Gagal
Namun, ada pula orang yang memiliki jatah gagal yang banyak, sehingga pilihannya antara dua, dia berhenti gagal atau akhirnya dia menjadi sukses setelah jatah gagalnya habis.
Contoh orang yang menjadi sukses setelah menghabiskan jatah gagalnya adalah Thomas Alfa Edison yang ratusan kali gagal sebelum akhirnya sukses membuat bola lampu pertama. Sedangkan contoh orang yang berhenti untuk gagal tak terhitung jumlahnya.
Jadi, mari kita habiskan jatah gagal kita secepatnya, untuk mencapai kesuksesan.
20 November 2008
Ustadz Rahmat Abdullah versi Ust. Ahmad Sarwat
Saya mengenal almarhum Ustadz Rahmat Abdullah tidak sebagaimana umumnya orang kebanyakan mengenal beliau. Saya mengenal beliau bukan hanya sebagai ustadz, tapi juga sebagai teman, kakak, guru dan juga sebagai tetangga satu kampung. Dulu namanya masih kampung, kampung Pedurenan Masjid. Kini nama yang lebih tersohor adalah Kuningan.
Saya ingat sekali dahulu beliau pernah menulis puisi berjudul 'Pedurenan Nan Jelita'. Isinya tentang perasaan miris beliau atas pembangunan pisik yang menggusur perkampungan Islam. Lalu tempat itu berubah jadi hutan beton.
Apa yang beliau khawatirkan di puisinya itu memang sebagiannya menjadi kenyataan. Setidaknya rumah beliau dulu tinggal yang tentunya juga rumah orang tua beliau, kini sudah rata dengan tanah dan sudah jadi gedung bertingkat.
Demikian juga dengan mushalla An-Ni'mah sebagai salah satu mushalla tempat dulu kami mengaji, kini sudah rata dengan tanah dan jadi gedung bertingkat.
Namun madrasah Daarul-Uluum yang disebut-sebut dalam film Sang Murobbi, tempat dimana beliau pernah mengadakan pengajian remaja masjid, masih berdiri tegak. Dan di madrasah Daarul-Uluum itulah kini saya tinggal sejak kami sekeluarga pulang dari Cairo. Waktu itu usia saya masih 2-3 tahun. Ya, pedurenan saat itu adalah sebuah kampung betawi yang lekat dengan nilai-nilai keislaman.
Sekarang saya meneruskan Madrasah Daarul-Uluum yang sudah berdiri dari tahun 1976. Di Madrasah itulah dahulu Ustadz Rahmat Abdullah diangkat menjadi mengajar pengajian tiap malam Senin. Dan di samping madrasah ada masjid, dimana almarhum ayah saya adalah ketua Takmir masjid di depan rumah saya, dan almarhum Ustadz Rahmat adalah ketua remaja masjidnya.
Remaja masjidnya bernama Pemuda Raudhatul Falah, disingkat PARAF. Karena nama masjid di depan rumah saya itu memang bernama Masjid Raudhatul Falah. Masjid Raudhatul Falah dan madrasah Daarul-Uluum, keduanya masih berdiri sampai hari ini. Sesungguhnya di kedua tempat itulah awal mula debut sang Murobbi kita yang satu ini.
Sebagai putera pemilik madrasah dan juga putera Ketua Takmir Masjid, tentu saya kenal Ustadz Rahmat bukan hanya sekilas, tapi memang kami dahulu tiap malam 'nongkrong' bersama.
Yang kami kenal, beliau bukan sekedar sosok ustadz, tetapi juga seorang seniman. Saya pernah main teater dimana beliau jadi penulis naskah sekaligus sutradara. Malam-malam kami latihan teater di lapangan luas, sambil lari-lari memutari lapangan dan latihan vokal.
Saya masih ingat dahulu saya mendapat peran sebagai Abu Mihjan, seorang shahabat yang mati syahid, dalam lakon Darah Para Syuhada. Naskah langsung ditulis oleh beliau, yang pada akhirnya saya ketahui merupakan terjemahan dari naskah asli berbahasa Arab karya Dr. Yusuf Al-Qaradawi.
Usia saya waktu masih belia, masih SMP dan kemudian masuk ke SMA. Pengajian halaqoh yang beliau selenggarakan dimana saya ikut di dalamnya, adalah format pengajian setelah remaja masjid kami dibubarkan oleh pihak pemerintah, karena dianggap merongrong Pancasila dan penguasa. Maklumlah, itu terjadi tahun 80-an, dimana penguasa sangat represif terhadap umat Islam.
Almarhum Ustadz Rahmat menjadi murobbi saya sejak masih SMP, lanjut ke SMA bahkan sampai saya kuliah. Kami mengaji kepada beliau bukan seminggu sekali, tapi tiap malam. Formalnya 3 kali dalam seminggu, yaitu malam Senin, malam rabu khusus bahasa Arab dan hari Ahad pagi khusus para naqib.
Materi 'panah-panah beracun' saya kenal pertama kali dari beliau. Demikian juga buku kecil Al-Ma'tusrat dan tafsir Fi Dzhilalil Quran. Ustadz Rahmat sebenarnya lebih merupakan seorang otodidak, karena bahkan jenjang madrasah 'aliyah pun tidak sempat lulus.
Sebenarnya beliau punya guru yang banyak, bukan hanya satu orang. Beliau adalah santri di perguruan Asy-Syafi'iyah Bali Matraman. Beliau adalah santri kesayangan kiyai Abdullah Syafi'i, ulama betawi kondang yang legendaris itu. Sayang karena masalah finansial, beliau urung diberangkatkan ke Mesir, negeri impian beliau untuk meneruskan menuntut ilmu. Beda nasib dengan senior beliau, Ustadz Bakir Said yang juga santri kesayangan kiyai Abdullah Syafi'i dan berhasil sampai ke Mesir.
Tapi semangat belajar almarhum tidak surut. Beliau banyak membaca, apalagi kemampuan bahasa arab beliau lumayan, banyak buku berbahasa arab yang beliau lahap. Teman-temannya dari Mesir juga rajin mengirimi kitab, termasuk kitab-kitab harakah Ikhwanul Muslimin.
Lepas dari keustadzannya, almarhum saya kenal juga sebagai pemuda yang awalnya dulu juga masih merokok. Kalau tidak salah, rokoknya Marlboro. Wah jadi buka kartu nih. Tapi setelah itu beliau sama sekali meninggalkan rokok, dan melarang murid-muridnya merokok. Tapi tidak semua kami patuh, ada juga yang bandel.
Kalau ustadz tidak ada, beberapa dari kami ada yang dengan santainya merokok. Eh, tiba-tiba ustadz datang, maka rokok-rokok itu dibuang, takut ketahuan. Tapi ada satu teman yang waktu itu tidak sempat membuang rokok, entah kaget entah bingung, rokok masih menyala dimasukkan kantong. kontan dia melompat-lompat kepanasan. Yah, ketahuan juga akhirnya.
Saya mengenal beliau saat beliau masih bujangan. Saat itu saya tahu beliau sedang dalam proses berkenalan dengan salah satu murid beliau yang saya juga kenal langsung. Walau akhirnya beliau tidak jadi menikahinya dan menikahi murid beliau yang lain. Tapi kenangan itu masih jelas dalam ingatan saya. Yang menarik, di hari walimah pun, beliau tetap ceramah berpidato di hadapan hadirin tamu undangan. Hihihi, pengantin kok ceramah. Lucu juga ya.
Oh ya, beliau terkenal kalau ceramah tidak bisa sebentar. Bahasa yang beliau pakai pun juga bahasa langit. Jadi sebenarnya buat kami saat itu, tidak semua yang beliau ceramahkan, bisa kami pahami dengan mudah. Sebagiannya merupakan bahasa perlambang, yang selesai pengajian, kita diskusi lagi membahas apa yang tadi beliau maksudkan. Lucu juga ya, ngaji kok nggak paham.
Yang konyol tapi lucu, kalau beliau Khutbah Jumat. Lamaaaa dan panjaaang. Sebagian jamaah yang tidak kenal beliau kadang suka marah-marah. Sampai akhirnya saat doa dibacakan, mereka pun mengucapkan 'amin' dengan sekeras-kerasnya. Mungkin kesel kali ya, khutbah kok lama banget.
Tapi ya itulah ustadz Rahmat Abdullah. Sosok yang kini jadi legenda. Sepanjang yang saya ketahui, beliau tidak sampai mengaji dalam arti halaqoh dengan ustadz Hilmi. Karena Ustadz Rahmat sudah jadi ustadz kondang saat Ustadz Himi baru pulang dari Saudi Arabia. Dan meski secara formal beliau tidak duduk di bangku kuliah dan juga tidak pernah tinggal di Arab, namun beliau baca buku cukup banyak. Ilmunya luas dan boleh diadu dengan para sarjana dari timur tengah.
Tentu Ustadz Rahmat berinteraksi dengan Ustadz Hilmi dalam kancah harakah Islamiyah. Namun posisinya tidak sebagai murobbi dan mad'u. Sebab boleh dibilang, muridnya ustadz Rahmat lebih banyak dari muridnya Ustadz Hilmi saat awal mulanya. Namun keduanya kemudian aktif dalam kancah tarbiyah, dan membina umat lewat berbagai macam halaqah dan daurah.
Kelebihan Ustadz Rahmat dari semua murobbi lainnya adalah beliau seorang yang menguasai ilmu-ilmu keislaman secara baik, walau lewat jalur pesantren tradisonal. Beliau belajar ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqih dan seterusnya. Sementara para murobbi yang lain cuma bermodal materi panah-panah saja dan semangat 45-nya.
Ketika beliau mulai membina dengan sistem halaqoh, beliau sudah punya murid dimana-mana. Sebaliknya, ustadz-ustadz yang baru pulang dari timur tengah belum punya murid. Lagian, gaya halaqoh di Arab sana sangat beda dengan gaya halaqah di Indonesia.
Di Arab, murabbinya memang para masyaikh, semua anggota halaqah adalah mahasiwa yang melek huruf Arab. Jadi modelnya mereka baca kitab tertentu. Saya tahu gaya itu karena saya pernah diikutkan dengan halaqah khas gaya Arab. Menarik memang dan jauh lebih ilmmiyah.
Sementara para murabbi di negeri kita, tidak bisa bahasa arab dan mereka bukan pembaca buku yang baik. Maka ustadz Hilmi membuat materi panah-panah itu, yang kemudian saya sadari bahwa semua itu adalah materi aqidah dan fiqhuddakwah. Tidak ada materi ulumul Islam seperti Fiqih, Ushul, Tafsir, Hadits dan lainnya.
dari warnaislam.com
13 November 2008
John Lie dan Angkatan Laut
Buku suntingan Kusniyati Mochtar yang diberi pengantar Ali Alatas (Memoar Pejuang Republika Indonesia seputar ?Zaman Singapura' 1945-1950, Gramedia Pustaka Utama, 1992) mengungkapkan secara panjang lebar peran John Lie dalam menembus blokade Belanda setelah Indonesia merdeka.
John Lie yang lahir di Manado, 9 Maret 1911 adalah mualim pada kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang kemudian bergabung dengan Angkatan Laut RI. Pada mulanya, ia bertugas di Cilacap dengan pangkat kelasi kelas tiga. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan sekutu.
Selanjutnya ia ditugasi mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang masih tipis waktu itu. Pada masa awal (1947), ia membawa karet seberat 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan.
Sejak itulah ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Kemudian sejata tersebut diserahkan kepada pejabat republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan tentara Belanda. Untuk keperluan operasi ini John Lie memiliki kapal kecil cepat yang dinamakan The Outlaw.
Pada awal 1950, ketika berada di Bangkok, John Lie dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugasi sebagai komandan kapal perang Rajawali. Pada 1950 Soumokil memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS). Upaya damai dilakukan pemerintah dengan mengirim Dr Leimena, tetapi tidak membuahkan hasil.
Pada 1 Mei 1950, dilakukan blokade di perairan Ambon antara lain oleh kapal korvet RI Rajawali yang dipimpin Mayor John Lie. Karena terkepung, pasukan RMS merampas harta benda dan makanan dari penduduk. Maka penduduk mendekati kapal perang ALI dan meminta bantuan.
Kapal RI Rajawali sempat mengungsikan 4.200 penduduk yang ingin pindah karena diintimidasi pasukan RMS. Tahap berikutnya adalah penumpasan pemberontak RMS. Pendaratan pasukan ALRI yang antara lain menggunakan RI Rajawali dilakukan pada 13 dan 21 Juli di tiga tempat, yakni Pulau Buru, Pulau Seram, dan Pulau Piru. John Lie juga memimpin kapal Rawajali dalam melakukan pendaratan di Ambon September 1950.
Pada 28 April 1956, John Lie menikah dengan seorang pendeta Margareth Angkuw di Jakarta. Tampaknya pengabdian kepada negara telah banyak menyita waktu John Lie sehingga ia baru menikah pada usia 45 tahun. Pada masa berikut, ia aktif dalam penumpasan PRRI dan Permesta pada 1958. Dalam penumpasan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), Letnan Kolonel John Lie memimpin Amphibious TaskForce17 yang terdiri atas 6 kapal perang dan satu batalion KKO.
Kapal- kapal itu membombardir Kota Padang dan kemudian pasukan KKO melakukan pendaratan. Dalam penumpasan Permesta (Perjuangan Semesta) John Lie memimpin Amphibious Task 25 yang terdiri atas 17 kapal perang dan satu batalion KKO. John Lie yang dikenal juga dengan nama Jahya Daniel Dharma tetap berdinas pada Angkatan Laut, terakhir dengan pangkat laksamana muda. Selanjutnya ia bergerak dalam bidang sosial dan keagamaan sampai akhir hayatnya.
Hubungan John Lie dan Proklamator Bung Hatta terlihat dari pertemuan keduanya di Singapura sebelum Bung Hatta menghadiri Konferensi Meja Bundar pada 1949. Selanjutnya hubungan dengan keluarga Bung Hatta tetap erat sampai akhir hayat.
Menjelang 17 Agustus 1988 John Lie mengirimkan karangan bunga atas ulang tahun Bung Hatta (12 Agustus) dan ulang tahun kemerdekaan RI (17 Agustus). Pada 19 Agustus 1988, Rahmi Hatta mengucapkan terima kasih atas perhatian John Lie dan menyampaikan,"Kami sekeluarga juga tak lupa atas jasa-jasa John Lie dalam perjuangan membela Tanah Air kita tercinta dan atas keberanian membela hak kita."
Delapan hari kemudian (27 Agustus 1988) setelah menerima surat dari Rahmi Hatta, John Lie berangkat menembus blokade keduniaan memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa. Rest in Peace.
Referensi:
Tulisan Asvi Warman Adam
Sesungguhnya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya
Terima kasih para pahlawan bangsa.
13 October 2008
Ramadhan Mengajarakan 3 Hal

Ramadhan baru saja usai, namun untuk Ramadhan tidak hanya berlalu sebagai sebuah ritual tahunan tanpa makna. Lebih dari itu Ramadhan mengajarkan kepada kita semua bagaimana menjadi Hamba yang bertakwa. Ramadhan seyogyanya memberikan bekas kepada bulan-bulan berikutnya, hingga akhirnya kita dapat bertemu kembali dengan Ramadhan tahun depan.
Ramadhan mengajarkan kepada kita semua 3 hal yang harus kita evaluasi di bulan Syawal ini:
1. Memperkuat ketakwaan dan menjauhi maksiat.
Khalifah Umar ibn Khattab ra. pernah menulis surat kepada Panglima perang kaum muslimin yang akan menyerbu Persia (Iran saat ini) Saad ibn Abi Waqqash. Isi surat tersebut intinya.
"Selalu bertakwa kepada Allah, jauhi maksiat. Jumlah musuh kaum muslimin lebih banyak dari pasukan muslim. Jika dosa dan kemaksiatan yang dilakukan pasukan muslim sama dengan pasukan musuh, maka kalian akan kalah, karena mereka lebih unggul dari segi jumlah dan senjata. Maka hendaklah kalian lebih takut terhadap kemaksiatan yang kalian lakukan ketimbang jumlah pasukan musuh yang lebih banyak."
2. Hidup Sederhana dan Perbanyak Infaq
Warren Buffet, manusia nomor 1 paling kaya versi Forbes, masih menyetir sendiri mobilnya dari rumah ke kantornya di Omaha.
Pemimpin jamaah terbesar di Mesir, Imam Syahid Hasan Al Banna, suatu ketika pernah dijumpai oleh seorang petugas kereta api di Mesir naik kereta api Ekonomi kelas 3.
Kereta kelas ekonomi kelas tiga berisi para pedagang yang bercampur dengan barang dagangannya serta binatang-binatang ternak, sehingga sangat tidak nyaman. Ketika ditanya, "Mengapa pemimpin jamaah paling besar di Mesir seperti anda naik kereta kelas 3 seperti ini?", Imam Syahid Hasan Al Banna sambil tersenyum dan menjawab, "Karena tidak ada kelas yang lebih rendah dari ini".
3. Haus akan Ilmu
Presiden pertama Amerika Serikat, Jendral George Washington, Diriwayatkan hidup selama 67 tahun dan semasa hidupnya telah membaca 1000 buku dan menulis 40.000 surat.
Shalahuddin al-Ayubbi hafal Quran sebelum ditunjuk sebagai Panglima perang yang akan menyerbu Mesir.
Imam Ali ibn Abi Thalib terkenal dengan perkataannya, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya".
Imam Syafii bukan hanya membaca kitab-kitab Ilmu, tetapi juga menghafalnya. Dalam Islam, seorang ilmuwan bukan saja harus banyak membaca dan menulis, namun juga menghafal.
Wallahu 'alam