Saya mengenal almarhum Ustadz Rahmat Abdullah tidak sebagaimana umumnya orang kebanyakan mengenal beliau. Saya mengenal beliau bukan hanya sebagai ustadz, tapi juga sebagai teman, kakak, guru dan juga sebagai tetangga satu kampung. Dulu namanya masih kampung, kampung Pedurenan Masjid. Kini nama yang lebih tersohor adalah Kuningan.
Saya ingat sekali dahulu beliau pernah menulis puisi berjudul 'Pedurenan Nan Jelita'. Isinya tentang perasaan miris beliau atas pembangunan pisik yang menggusur perkampungan Islam. Lalu tempat itu berubah jadi hutan beton.
Apa yang beliau khawatirkan di puisinya itu memang sebagiannya menjadi kenyataan. Setidaknya rumah beliau dulu tinggal yang tentunya juga rumah orang tua beliau, kini sudah rata dengan tanah dan sudah jadi gedung bertingkat.
Demikian juga dengan mushalla An-Ni'mah sebagai salah satu mushalla tempat dulu kami mengaji, kini sudah rata dengan tanah dan jadi gedung bertingkat.
Namun madrasah Daarul-Uluum yang disebut-sebut dalam film Sang Murobbi, tempat dimana beliau pernah mengadakan pengajian remaja masjid, masih berdiri tegak. Dan di madrasah Daarul-Uluum itulah kini saya tinggal sejak kami sekeluarga pulang dari Cairo. Waktu itu usia saya masih 2-3 tahun. Ya, pedurenan saat itu adalah sebuah kampung betawi yang lekat dengan nilai-nilai keislaman.
Sekarang saya meneruskan Madrasah Daarul-Uluum yang sudah berdiri dari tahun 1976. Di Madrasah itulah dahulu Ustadz Rahmat Abdullah diangkat menjadi mengajar pengajian tiap malam Senin. Dan di samping madrasah ada masjid, dimana almarhum ayah saya adalah ketua Takmir masjid di depan rumah saya, dan almarhum Ustadz Rahmat adalah ketua remaja masjidnya.
Remaja masjidnya bernama Pemuda Raudhatul Falah, disingkat PARAF. Karena nama masjid di depan rumah saya itu memang bernama Masjid Raudhatul Falah. Masjid Raudhatul Falah dan madrasah Daarul-Uluum, keduanya masih berdiri sampai hari ini. Sesungguhnya di kedua tempat itulah awal mula debut sang Murobbi kita yang satu ini.
Sebagai putera pemilik madrasah dan juga putera Ketua Takmir Masjid, tentu saya kenal Ustadz Rahmat bukan hanya sekilas, tapi memang kami dahulu tiap malam 'nongkrong' bersama.
Yang kami kenal, beliau bukan sekedar sosok ustadz, tetapi juga seorang seniman. Saya pernah main teater dimana beliau jadi penulis naskah sekaligus sutradara. Malam-malam kami latihan teater di lapangan luas, sambil lari-lari memutari lapangan dan latihan vokal.
Saya masih ingat dahulu saya mendapat peran sebagai Abu Mihjan, seorang shahabat yang mati syahid, dalam lakon Darah Para Syuhada. Naskah langsung ditulis oleh beliau, yang pada akhirnya saya ketahui merupakan terjemahan dari naskah asli berbahasa Arab karya Dr. Yusuf Al-Qaradawi.
Usia saya waktu masih belia, masih SMP dan kemudian masuk ke SMA. Pengajian halaqoh yang beliau selenggarakan dimana saya ikut di dalamnya, adalah format pengajian setelah remaja masjid kami dibubarkan oleh pihak pemerintah, karena dianggap merongrong Pancasila dan penguasa. Maklumlah, itu terjadi tahun 80-an, dimana penguasa sangat represif terhadap umat Islam.
Almarhum Ustadz Rahmat menjadi murobbi saya sejak masih SMP, lanjut ke SMA bahkan sampai saya kuliah. Kami mengaji kepada beliau bukan seminggu sekali, tapi tiap malam. Formalnya 3 kali dalam seminggu, yaitu malam Senin, malam rabu khusus bahasa Arab dan hari Ahad pagi khusus para naqib.
Materi 'panah-panah beracun' saya kenal pertama kali dari beliau. Demikian juga buku kecil Al-Ma'tusrat dan tafsir Fi Dzhilalil Quran. Ustadz Rahmat sebenarnya lebih merupakan seorang otodidak, karena bahkan jenjang madrasah 'aliyah pun tidak sempat lulus.
Sebenarnya beliau punya guru yang banyak, bukan hanya satu orang. Beliau adalah santri di perguruan Asy-Syafi'iyah Bali Matraman. Beliau adalah santri kesayangan kiyai Abdullah Syafi'i, ulama betawi kondang yang legendaris itu. Sayang karena masalah finansial, beliau urung diberangkatkan ke Mesir, negeri impian beliau untuk meneruskan menuntut ilmu. Beda nasib dengan senior beliau, Ustadz Bakir Said yang juga santri kesayangan kiyai Abdullah Syafi'i dan berhasil sampai ke Mesir.
Tapi semangat belajar almarhum tidak surut. Beliau banyak membaca, apalagi kemampuan bahasa arab beliau lumayan, banyak buku berbahasa arab yang beliau lahap. Teman-temannya dari Mesir juga rajin mengirimi kitab, termasuk kitab-kitab harakah Ikhwanul Muslimin.
Lepas dari keustadzannya, almarhum saya kenal juga sebagai pemuda yang awalnya dulu juga masih merokok. Kalau tidak salah, rokoknya Marlboro. Wah jadi buka kartu nih. Tapi setelah itu beliau sama sekali meninggalkan rokok, dan melarang murid-muridnya merokok. Tapi tidak semua kami patuh, ada juga yang bandel.
Kalau ustadz tidak ada, beberapa dari kami ada yang dengan santainya merokok. Eh, tiba-tiba ustadz datang, maka rokok-rokok itu dibuang, takut ketahuan. Tapi ada satu teman yang waktu itu tidak sempat membuang rokok, entah kaget entah bingung, rokok masih menyala dimasukkan kantong. kontan dia melompat-lompat kepanasan. Yah, ketahuan juga akhirnya.
Saya mengenal beliau saat beliau masih bujangan. Saat itu saya tahu beliau sedang dalam proses berkenalan dengan salah satu murid beliau yang saya juga kenal langsung. Walau akhirnya beliau tidak jadi menikahinya dan menikahi murid beliau yang lain. Tapi kenangan itu masih jelas dalam ingatan saya. Yang menarik, di hari walimah pun, beliau tetap ceramah berpidato di hadapan hadirin tamu undangan. Hihihi, pengantin kok ceramah. Lucu juga ya.
Oh ya, beliau terkenal kalau ceramah tidak bisa sebentar. Bahasa yang beliau pakai pun juga bahasa langit. Jadi sebenarnya buat kami saat itu, tidak semua yang beliau ceramahkan, bisa kami pahami dengan mudah. Sebagiannya merupakan bahasa perlambang, yang selesai pengajian, kita diskusi lagi membahas apa yang tadi beliau maksudkan. Lucu juga ya, ngaji kok nggak paham.
Yang konyol tapi lucu, kalau beliau Khutbah Jumat. Lamaaaa dan panjaaang. Sebagian jamaah yang tidak kenal beliau kadang suka marah-marah. Sampai akhirnya saat doa dibacakan, mereka pun mengucapkan 'amin' dengan sekeras-kerasnya. Mungkin kesel kali ya, khutbah kok lama banget.
Tapi ya itulah ustadz Rahmat Abdullah. Sosok yang kini jadi legenda. Sepanjang yang saya ketahui, beliau tidak sampai mengaji dalam arti halaqoh dengan ustadz Hilmi. Karena Ustadz Rahmat sudah jadi ustadz kondang saat Ustadz Himi baru pulang dari Saudi Arabia. Dan meski secara formal beliau tidak duduk di bangku kuliah dan juga tidak pernah tinggal di Arab, namun beliau baca buku cukup banyak. Ilmunya luas dan boleh diadu dengan para sarjana dari timur tengah.
Tentu Ustadz Rahmat berinteraksi dengan Ustadz Hilmi dalam kancah harakah Islamiyah. Namun posisinya tidak sebagai murobbi dan mad'u. Sebab boleh dibilang, muridnya ustadz Rahmat lebih banyak dari muridnya Ustadz Hilmi saat awal mulanya. Namun keduanya kemudian aktif dalam kancah tarbiyah, dan membina umat lewat berbagai macam halaqah dan daurah.
Kelebihan Ustadz Rahmat dari semua murobbi lainnya adalah beliau seorang yang menguasai ilmu-ilmu keislaman secara baik, walau lewat jalur pesantren tradisonal. Beliau belajar ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqih dan seterusnya. Sementara para murobbi yang lain cuma bermodal materi panah-panah saja dan semangat 45-nya.
Ketika beliau mulai membina dengan sistem halaqoh, beliau sudah punya murid dimana-mana. Sebaliknya, ustadz-ustadz yang baru pulang dari timur tengah belum punya murid. Lagian, gaya halaqoh di Arab sana sangat beda dengan gaya halaqah di Indonesia.
Di Arab, murabbinya memang para masyaikh, semua anggota halaqah adalah mahasiwa yang melek huruf Arab. Jadi modelnya mereka baca kitab tertentu. Saya tahu gaya itu karena saya pernah diikutkan dengan halaqah khas gaya Arab. Menarik memang dan jauh lebih ilmmiyah.
Sementara para murabbi di negeri kita, tidak bisa bahasa arab dan mereka bukan pembaca buku yang baik. Maka ustadz Hilmi membuat materi panah-panah itu, yang kemudian saya sadari bahwa semua itu adalah materi aqidah dan fiqhuddakwah. Tidak ada materi ulumul Islam seperti Fiqih, Ushul, Tafsir, Hadits dan lainnya.
dari warnaislam.com
No comments:
Post a Comment