24 December 2008

Mendidik Anak

Judulnya berat ya :)
Tapi postingan ini langsung saya tulis di blog, agar dapat dijadikan pengingat di masa yang akan datang. Tulisan aslinya bisa dilihat di warnaislam.com

Perubahan dari Dalam Diri

Ada perasaan yang kurang enak ketika anak kami satu-satunya, Riza, bertanya pada saya.

"Nggak ke luar kota, pa ?"

Ya. Sudah dua minggu saya tidak ke luar kota. Padahal biasanya, ada aja undangan untuk memberikan pelatihan di luar kota, satu atau dua kali seminggu.

"Nggak. Mungkin Minggu depan papa ke Yogya. Kenapa tanya begitu ?" Saya balik bertanya.

"Nggak apa-apa," jawab Riza. Ada nada ragu pada ucapannya.

Tidak ada dialog lanjutan. Rasa kurang enak itu terus bergejolak dalam hati saya. Untuk menjawab perasaan itu, saya berniat untuk bicara tentang hal itu dengan istri, dan juga dengan Maya, pembantu rumah tangga kami.

Tidak ada informasi tambahan ketika saya menanyakan hal ini. Dan tentu saja, saya harus mencari jawaban dari sumber lain. Bertanya langsung, mungkin salah satu cara. Tapi dengan pertimbangan tidak ingin membuatnya terpojok, saya berusaha mencari informasi dengan cara saya sendiri.

Minggu berikutnya, ada undangan untuk pelatihan di Pontianak. Seperti biasa, saya berangkat pagi hari. Setelah pamit pada Riza dan istri, saya berangkat menuju bandara. Untuk kepergian satu atau dua hari, saya terbiasa membawa mobil sendiri, yang saya parkir di area parkir GMF AeroAsia kawasan bandara Internasional Soekarno – Hatta, Cengkareng.

Tak sengaja, ada berkas yang seharusnya saya bawa ke Pontianak, tertinggal. Setelah menyadari hal itu, saya segera memutar arah kendaraan dan kembali ke rumah. Alhamdulillaah. Berkas bisa segera saya temukan. Dari kamar Riza, saya mendengar suara Riza sedang bernyanyi gembira. Dan syair nyanyian itu yang membuat saya seperti mendapat tamparan.

”Papa pergi..... papa pergi.......” Nyanyain itu dilafalkan berulang-ulang. Saya tidak masuk ke kamar Riza. Sementara, biarkan saja ia bergembira, pikir saya.

Dalam perjalanan ke Pontianak, lagu gembira yang dinyanyikan Riza sangat mengganggu saya. Sepertinya, ia begitu gembira ketika papanya pergi. Seharusnya, sebagaimana anak-anak lain, ia merasa sedih ditinggal orang-tuanya. Saya ingat, ketika ia masih berusia enam tahun, saya pernah meninggalkannya dalam waktu cukup lama untuk sekolah di Australia. Ketika itu, ia begitu sedih sekaligus kesal. Sedih, karena saya tidak pernah meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama. Kesal, karena ketika itu saya hanya mengatakan bahwa kepergian saya tidak untuk waktu yang lama. Dan kesedihan dan kekesalan itu ditunjukkannya dengan tidak mau menerima telepon dari saya di luar negeri. Cukup lama istri saya ’merayu’nya, sampai akhirnya ia berkenan bicara lewat telepon, dengan janji membawa oleh-oleh mainan kereta api.

Perjalanan ke Pontianak, adalah perjalanan introspeksi. Dalam perjalanan itu lah saya menyadari bahwa selama ini saya menerapkan disiplin kepadanya dengan sangat ketat. Lepas shalat Maghrib, suka atau tidak suka, televisi saya matikan. Setelah itu, ia pun saya paksa untuk belajar. Kadang dengan marah-marah. Dan bisa jadi, itu membuatnya stres. Beberapa pelajaran di sekolah, mendapatkan nilai yang tidak terlalu baik, sekalipun tidak sampai merah angkanya. Dan nilai-nilai seperti itupun membuat saya jadi semakin sering marah kepadanya. Beberapa kali pula ia tidak saya berikan uang jajan karena alasan yang sama.

Saat itu saya menyadari, bahwa saya sudah membuat sebuah lingkaran setan. Saya membuat siklus marah – nilai buruk – marah lagi – nilai makin buruk dan seterusnya. Dan seterusnya. Dan seperti yang sering saya ajarkan kepada audiens dalam seminar-seminar yang saya pandu, maka saya harus memutus lingkaran setan itu.

Pulang dari Pontianak, saya menemui Riza. Saya ingin mengurangi frekuensi marah, sekaligus memberinya tanggung-jawab yang lebih besar. Saat itu saya katakan kepadanya, bahwa saya tidak akan marah lagi kepadanya, hanya karena alasan tidak mau belajar. Ia bebas menentukan, kapan ia mau belajar. Habis Maghrib mau main game, silahkan saja. Mau menonton televisi, oke-oke saja. Saya hanya akan marah dan memberinya hukuman pada dua kesempatan, yaitu ketika datang saat penerimaan raport. Itu pun kalau nilainya buruk. Kalau nilainya baik, saya akan memberinya reward. Hadiah.

Saya pun mulai mengubah kebiasaan saya. Jika sebelum kejadian itu saya hanya memberinya instruksi dan kemudian masuk kamar, mulai hari itu, kalau saya tidak sedang ke luar kota, saya membaca buku di kamarnya. Istri saya juga kadangkala ikut menemani. Awalnya, ia senang sekali. Habis shalat Maghrib, nonton televisi atau main game. Sesekali ia menjawab SMS dari kawan sekolahnya. Hasilnya, nilai beberapa mata pelajarannya menurun. Dan sesuai janji, saya tidak akan marah atau memberinya hukuman.

Lama-kelamaan, bisa jadi ia risi dengan perilakunya sendiri. Ia asyik bermain-main, sedangkan papa dan atau mamanya ada di sampingnya, sedang belajar. Mungkin juga ia merasa takut, kalau beberapa nilai yang buruk membuat nilai raportnya ikut buruk. Ia pun mulai mengurangi kebiasaan main game atau menonton televisi setelah maghrib. Kami gembira. Rasa tanggung-jawab mulai tumbuh. Tanpa diperintah, ia mulai betah belajar atas kemauan sendiri.

Ada satu pelajaran penting, yang sebenarnya sudah sering saya ajarkan pada orang lain. Kalau kita mau mengubah sikap orang lain, mulailah dengan mengubah diri sendiri. Kita bisa mengubah sikap orang lain dengan cara memaksa, terutama kepada orang-orang yang ada di bawah kuasa kita, misalnya anak-anak atau karyawan kita. Sayangnya, perubahan itu sifatnya tidak langgeng. Dasar dari perubahan itu adalah rasa takut. Ketika kita dekat dengan mereka, mereka akan melakukan apa yang kita minta. Tapi ketika kita tidak ada, bisa jadi mereka meledek kita.

Lain halnya ketika kita mulai melakukan perubahan itu dari sikap kita sendiri. Lupakan marah-marah. Lupakan ancaman memberinya hukuman. Cukup membaca buku di kamarnya. Temani dia ketika bermain dan belajar. Dan lama-kelamaan rasa risi sekaligus tanggung-jawab itu mulai tumbuh. Kesadaran mulai bersemi. Dan kemudian, keinginan belajar pun tidak perlu dipaksakan.

Syukur alhamdulillaah. Anak kami, Riza, mulai menunjukkan prestasi yang cukup tinggi di sekolahnya. Hanya sesekali ia meminta kami untuk membantunya menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya. Nilai-nilai di raportnya sudah bersih dari angka 6. Ranking di kelasnya juga cukup bagus. Tidak sampai double digit. Raport terakhirnya di kelas 7, ia berada dalam urutan tiga besar.

Terus terang, bukan nilai tinggi yang pada awalnya saya inginkan. Yang saya inginkan sejak awal adalah bahwa ia mengubah lagu gembiranya dari ’papa pergi’ menjadi ’papa pulang’. Dan sekali lagi, syukur alhamdulillaah, lagu itu lah yang sekarang lebih sering terdengar. Riza menyanyikannya dengan nada gembira. Dan kami, papa dan mamanya pun mendengarkannya dengan rasa gembira yang lebih tinggi. Kalau pun ada hasil lain yang membanggakan kami, seperti prestasi sekolahnya, itu adalah hasil samping dari sebuah perubahan yang dimulai dari diri sendiri. Dan lagu kami setiap hari adalah lagu ciptaan Iwan Fals. Kemesraan ini, jangan lah cepat berlalu.

3 comments:

Aldhino Anggorosesar said...

Pastinya semua perubahan itu dipengaruhi juga oleh bertambahnya usia anak seiring waktu, sehingga timbul sikap yang lebih matang...
ya..

Anonymous said...

Waduh dalam banget nih, jadi pengen cepet-cepet lihat Azkia besar. Banyak hal yang udah aku rencanain nanti kalau Azkia besar, seputar pendidikan, seputar mimpi. Siklusnya masih panjang sih tapi :)

Terimakasih artikelnya mas

Zidni said...

@aldhino
Setuju dhin, seiring bertambahnya usia, pendekatan pendidikan orang tua juga harus menyesuaikan dengan karakter si anak.

@Anjar
Semoga Azkia dapat menjadi anak yang menjadi pelita hati orang tuanya.
Di-share rencana parenting di blognya dong mas, buat referensi :)