13 November 2008

John Lie dan Angkatan Laut

Menyambut Hari Pahlawan 10 November 2008

Buku suntingan Kusniyati Mochtar yang diberi pengantar Ali Alatas (Memoar Pejuang Republika Indonesia seputar ?Zaman Singapura' 1945-1950, Gramedia Pustaka Utama, 1992) mengungkapkan secara panjang lebar peran John Lie dalam menembus blokade Belanda setelah Indonesia merdeka.

John Lie yang lahir di Manado, 9 Maret 1911 adalah mualim pada kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang kemudian bergabung dengan Angkatan Laut RI. Pada mulanya, ia bertugas di Cilacap dengan pangkat kelasi kelas tiga. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan sekutu.

Selanjutnya ia ditugasi mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang masih tipis waktu itu. Pada masa awal (1947), ia membawa karet seberat 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan.

Sejak itulah ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Kemudian sejata tersebut diserahkan kepada pejabat republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan tentara Belanda. Untuk keperluan operasi ini John Lie memiliki kapal kecil cepat yang dinamakan The Outlaw.

Pada awal 1950, ketika berada di Bangkok, John Lie dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugasi sebagai komandan kapal perang Rajawali. Pada 1950 Soumokil memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS). Upaya damai dilakukan pemerintah dengan mengirim Dr Leimena, tetapi tidak membuahkan hasil.

Pada 1 Mei 1950, dilakukan blokade di perairan Ambon antara lain oleh kapal korvet RI Rajawali yang dipimpin Mayor John Lie. Karena terkepung, pasukan RMS merampas harta benda dan makanan dari penduduk. Maka penduduk mendekati kapal perang ALI dan meminta bantuan.

Kapal RI Rajawali sempat mengungsikan 4.200 penduduk yang ingin pindah karena diintimidasi pasukan RMS. Tahap berikutnya adalah penumpasan pemberontak RMS. Pendaratan pasukan ALRI yang antara lain menggunakan RI Rajawali dilakukan pada 13 dan 21 Juli di tiga tempat, yakni Pulau Buru, Pulau Seram, dan Pulau Piru. John Lie juga memimpin kapal Rawajali dalam melakukan pendaratan di Ambon September 1950.

Pada 28 April 1956, John Lie menikah dengan seorang pendeta Margareth Angkuw di Jakarta. Tampaknya pengabdian kepada negara telah banyak menyita waktu John Lie sehingga ia baru menikah pada usia 45 tahun. Pada masa berikut, ia aktif dalam penumpasan PRRI dan Permesta pada 1958. Dalam penumpasan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), Letnan Kolonel John Lie memimpin Amphibious TaskForce17 yang terdiri atas 6 kapal perang dan satu batalion KKO.

Kapal- kapal itu membombardir Kota Padang dan kemudian pasukan KKO melakukan pendaratan. Dalam penumpasan Permesta (Perjuangan Semesta) John Lie memimpin Amphibious Task 25 yang terdiri atas 17 kapal perang dan satu batalion KKO. John Lie yang dikenal juga dengan nama Jahya Daniel Dharma tetap berdinas pada Angkatan Laut, terakhir dengan pangkat laksamana muda. Selanjutnya ia bergerak dalam bidang sosial dan keagamaan sampai akhir hayatnya.

Hubungan John Lie dan Proklamator Bung Hatta terlihat dari pertemuan keduanya di Singapura sebelum Bung Hatta menghadiri Konferensi Meja Bundar pada 1949. Selanjutnya hubungan dengan keluarga Bung Hatta tetap erat sampai akhir hayat.

Menjelang 17 Agustus 1988 John Lie mengirimkan karangan bunga atas ulang tahun Bung Hatta (12 Agustus) dan ulang tahun kemerdekaan RI (17 Agustus). Pada 19 Agustus 1988, Rahmi Hatta mengucapkan terima kasih atas perhatian John Lie dan menyampaikan,"Kami sekeluarga juga tak lupa atas jasa-jasa John Lie dalam perjuangan membela Tanah Air kita tercinta dan atas keberanian membela hak kita."

Delapan hari kemudian (27 Agustus 1988) setelah menerima surat dari Rahmi Hatta, John Lie berangkat menembus blokade keduniaan memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa. Rest in Peace.



Referensi:
Tulisan Asvi Warman Adam

Sesungguhnya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya
Terima kasih para pahlawan bangsa.

No comments: