14 April 2011

Inilah Jawaban Kami

Diambil dari www.pks-dukuh.org

"astaghfirullah,memalukan,inikah partai dakwah,dakwah porno?dl pks skrg gk respek lg"

Komen diatas dari seseorang yang memberi comment di akun facebook ane. Apa jawaban ane? sebagai kader ecek-ecek alias kelas teri yang hidup di dusun alias grass root, yang menyadari betapa kecilnya peran diri ini dibanding para qiyadah dengan segudang amanah, inilah yang ane jawab:

Inikah partai dakwah? YA. 100% KAMI TAK PERNAH SANGSI. Kok ada yg berbuat begitu? Husnudzon di awal, itu perintah Allah dan tuntunan Nabi. Kalo memang terbukti? hukum yg akan bicara. Apa ada orang yang tidak pernah berbuat salah?

Menodai partai dakwah? KALO TERBUKTI, noda itu tinggal dibersihkan. Kalo tdk bisa dibersihkan? diamputasi (pecat). Dan tanpa gembar-gembor, PKS sudah banyak menjatuhkan sangsi kepada kader-kadernya yang terbukti melanggar AD/ART dan etika.

Memalukan kami? TIDAK. Tapi sbg pembelajaran bg kami, YA! Kenapa harus malu u/ mengakui dan bertobat KALO ITU TERBUKTI SALAH? Hanya iblis yang sombong untuk mengakui kekeliruan diri.

Gara2 begini kami jadi berhenti? TIDAK. TAKKAN PERNAH. Krn dakwah ini tidak ditentukan satu dua orang. Bahkan seandainya semua meninggalkan arena dakwah, kami tlah ber'azam takkan pernah meninggalkan jalan dakwah ini. Kami berdakwah bukan u/ berharap puja puji atau takut dicaci. Allah-lah tujuan kami. Kalo ada yg bersalah diantara kami, Allah pula sudah memberi guide: BERTOBAT dan dimaafkan atau KALO TDK MAU BERTOBAT sungguh azab Allah sangat pedih hanya dibanding caci maki!

Mungkin komen ane ini ada yang akan mengomentari: "kasihan kader lapisan bawah yang ikhlas berjuang dan tsiqoh pada qiyadah, tapi qiyadahnya sudah pada menyimpang, hidup bergelimang dunia". Saya akan katakan: "Kasihinilah dirimu sendiri, yang hidup bergelimang prasangka dan dusta. Kasihinilah dirimu sendiri, yang lebih memilih menyendiri diterkam srigala dibanding teguh dalam jamaah penuh berkah, kasihinlah dirimu sendiri yang tiada henti sibuk mengorek orang lain tapi melupakan aib diri sendiri".

Hasbunallah wani'mal wakil... kami yakin semua sudah dalam skenario Allah, tak ada satupun yang kebetulan semata. Cukuplah Allah bagi kami..

13 April 2011

Dilema Strategi Elektoral PKS

Diambil dari Rubrik Opini Media Indonesia
oleh Burhanudin Muhtadi (Peneliti LSI)

Audzubillahi min al-siyasah wa al-siyasiyyin (saya berlindung kepada Allah dari politik dan kaum politisi).
Syaikh M Abduh

‘TALAK politik’ dari Abduh tersebut tepat menggambarkan PKS setelah dihantam banyak isu terkait dengan kasus dugaan korupsi impor daging, tuduhan salah satu pendiri mereka, yakni Yusuf Supendi, hingga Arifinto dari Fraksi PKS yang tertangkap menonton gambar porno saat sidang paripurna.

Bagaimana bisa seorang ustaz sealim Arifi nto, pendiri partai dan anggota Majelis
Syuro PKS, membuka gambar porno di saat sidang? Seorang aktivis dakwah berkata kepada
saya, “Syahwat politik telah menyulap Arifinto dan PKS menjadi sangat pragmatis dan
larut dalam godaan kekuasaan.”

Kasus Arifinto
Pengunduran diri Arifinto sebagai anggota DPR memang menyelamatkan muka PKS. Selama beberapa hari, PKS menjadi sasaran tembak dari delapan penjuru mata angin akibat perilaku Arifinto. Kemarahan publik bukan semata-mata karena Arifinto mengabaikan etika anggota DPR, melainkan lebih karena Arifinto dinilai mewakili hipokrisi PKS yang sering berlaku sebagai ‘penjaga moral’. Coba saja pelakunya bukan
Fraksi PKS, mungkin ekspose media dan kontroversi yang muncul takkan seheboh ini.

Namun, pengunduran diri Arifinto patut diapresiasi karena memberikan pelajaran
pada pejabat lain untuk berani bertanggung jawab. Meski itu belum tentu menghapus
dugaan pelanggaran UU Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),
tindakan kesatria Arifi nto adalah oase di tengah negeri yang terlalu banyak dijejali pejabat yang tak tahu malu.

Kasus Arifi nto jelas menimbulkan demoralisasi di kalangan kader partai dan publik.
Hantaman isu mulai Misbakhun, impor daging, tuduhan Yusuf, hingga Arifi nto mengarah
langsung ke jantung kredibilitas PKS. Rentetan kasus itu memereteli kredibilitas
PKS dalam soal antikorupsi dan moralitas pribadi. PKS mengalami defi sit kepercayaan
diri untuk mengklaim sebagai ‘partai malaikat’. PKS pada akhirnya dilihat publik sebagai partai medioker yang integritasnya sama parah dengan partai-partai lainnya.
Memang rentetan kasus yang membelit PKS itu tidak imun dari tarik-menarik politik
pascakasus Century dan mafia pajak. Tak ada kebetulan 100% karena kebetulan dalam
politik adalah sebuah kemewahan. Mungkin ada operasi politik untuk menggembosi
PKS, setidaknya ada ‘penari sorak’ atas munculnya kasus-kasus yang mencoreng PKS.

Namun, menyalahkan pihak ketiga atau mengklaim ada konspirasi besar untuk mengerdilkan PKS bukanlah langkah bijak. PKS seolah menutup mata ada persoalan serius di internal mereka. Seharusnya PKS melakukan muhasabah kubro (introspeksi) kenapa
kasus-kasus itu terjadi.

Risiko politik
Sebagai partai yang lahir darirahim gerakan dakwah, pilihan menjadi partai bukan tanpa risiko. PKS adalah partai yang ditopang basis sosial kader yang militan, muda, terdidik, kota, dan punya pandangan Islam konservatif. Menjadi partai berarti PKS harus siap bermain dalam dunia syubhat atau abu-abu yang penuh kompromi, negosiasi, dan godaan kekuasaan. Tak semua kader bisa ‘menikmati’ langgam politik seperti itu,
terbukti dengan kritik-kritik keras dari sesepuh partai seperti Abu Ridho, Mashadi,
Daud Rasyid, dan Ihsan Tanjung terhadap arah PKS dewasa ini.

Di sisi lain, pilihan elite-elite PKS di bawah komando Ketua Majelis Syuro KH Hilmi
Aminuddin juga tak bisa disalah kan. Jika PKS bersikeras mempraktikkan politik
representasi basis sosial, suara PKS paling banter seperti yang diperoleh Partai Keadilan di 1999 yang gagal melampaui electoral threshold. Jualan isu-isu islami dan eksklusivisme terbukti tidak laku dalam pasar pemilih kita.

Untuk itu, sejak 2004 PKS serius memakai logika kompetisi, untuk meminjam Kitschelt (1989). PKS melakukan rebranding dengan mengubah citra dari partai eksklusif menjadi partai yang menjual isu-isu universal. Citra bersih dan peduli ditawarkan kepada
pemilih. Pilihan taktik elektoral itu terbukti berhasil. Pemilu 2004 membuktikan kesuksesan PKS dengan meraih 8,33 juta atau 7,3%.

Mero k e t n y a suara PKS mendorong sebagian elite untuk meneruskan strategi yang
justru dianggap basis harakah mereka ‘kebablasan’. Jelang Pemilu Legislatif 2009, PKS
mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka, termasuk isu caleg dan anggota nonmuslim.

Bagi sebagian kader yang ortodoks, isu nonmuslim sangat sensitif. Iklan-iklan kampanye PKS yang menjual Soeharto sebagai guru bangsa juga menyakiti kader
yang pernah menjadi korban represi rezim Orde Baru.

Dengan mengikuti logika kompetisi bahwa faktor finansial menjadi salah satu faktor
penting, PKS juga tak bisa mengandalkan sumbangan kader yang terbatas. PKS mulai
permisif dalam menggalang dana. Kasus ‘uang mahar’ Adang Daradjatun dalam
pemilukada DKI Jakarta yang dituduhkan Yusuf, misalnya, menunjukkan PKS tak ada
bedanya dengan partai lain yang ‘mengutip’ uang perahu bagi calon kepala dae rah.
Atau kasus Inu Kencana yang mengaku gagal menjadi balon Wali Kota Payakumbuh karena
tak sanggup membayar ‘uang mahar’ ke PKS (Padang Ekspres, 23/5/2007). PKS juga
terlihat kurang selektif dalam merekrut calon legislatif.

Misbakhun, misalnya, karena punya basis fi nansial, tiba-tiba melesat ke jajaran elite. Tantangan lain ialah PKS kini memasuki tahapan krusial dakwah mihwar muassasi ketika kader harus memenetrasi publik dan lembaga negara. Itulah yang menjelaskan perilaku elite PKS yang cenderung memilih koalisi dengan pemerintah. Retorika
politik untuk turut membangun bangsa melalui koalisi adalah sah-sah saja.

Namun, PKS tak bisa menghindar dari isu-isu miring soal perburuan rente di kementerian yang diduduki kadernya. Ingat kasus Suripto, mantan Sekjen Departemen
(kini kementerian) Kehutanan, dalam pembelian dua helikopter bekas. Juga isu
tak sedap impor daging di Kementerian Pertanian. Tentu itu bukan monopoli PKS.

Partai-partai koalisi lain juga banyak terkena imbas karena menjadikan kementerian
sebagai lahan basah untuk memburu rente. Logika kompetisi pula yang mendorong PKS dalam munas terakhir menegaskan diri sebagai partai terbuka. Secara elektoral, pilihan itu adalah taktik jitu untuk mencuri dukungan dari segmen pemilih nasionalis dan nonmuslim.

Namun, mengubah citra PKS dari partai konservatif ke partai tengah tak semudah
membalikkan telapak tangan. Dalam soal membuka pintu bagi pemilih nasionalis dan
nonmuslim, PKS menghadapi dua tantangan sekaligus, yaitu (1) meyakinkan basis massa
tradisional yang ortodoks bahwa rebranding PKS tak mengubah komitmen keislaman
partai dan (2) meyakinkan pasar pemilih nasionalis dan nonmuslim bahwa komitmen
PKS menjadi partai terbuka bukan lip service.

Pilihan partai terbuka belum tentu didukung internal partai, khususnya faksi ideologis yang menjadi motor partai. Pada 2009 ketika PKS beranjak
ke partai tengah, sejumlah basis suara PKS di DKI Jakarta, Jabar, Sumbar, dan Maluku
Utara melorot tajam. Memang suara PKS di daerah yang ‘kering kerontang’ seperti di
Jateng, Jatim dan Sulteng meningkat.

Jika PKS tak berhati-hati, PKS bisa saja gagal mempertahankan ceruk pemilih tradisional, sementara pemilih baru dari kalangan nasionalis dan
nonmuslim belum tentu mereka dapat. Ibaratnya burung di tangan dilepas, sedangkan
burung di udara belum tentu mudah ditangkap. Jika PKS berhasil melewati dua
tantangan tersebut, PKS akan menjelma menjadi partai besar yang makin disegani kawan
maupun lawan.

03 April 2011

Beramal Islami Melalui Jama'ah

(Ust. Anis Matta)
 
*******************************************************
Ummat ini bagaikan daun-daun yang berguguran, mudah sekali diterpa angin. Tiada kekuatan yang mampu menghimpunnya kembali, menata seperti ia masih bergayut pada pohonnya. Begitulah kenyataan! Banyak
orang saleh, orang hebat, tapi semuanya seperti daun-daun yang berhamburan. Oleh karena itu, jalan panjang untuk menuju kebangkitan ummat ini haruslah dimulai dari menghimpun daun-daun tersebut dalam wadah yang bernama jama'ah, merajut kembali jalinan cinta, satukan potensi dan kekuatan, sehingga ia menjadi pohon peradaban yang teduh, menaungi kemanusiaan.
*******************************************************
 
Walaupun satu keluarga kami tak saling mengenal
Himpunlah daun-daun yang berhamburan ini
Hidupkan lagi ajaran saling mencinta Ajari lagi kami
berkhidmat seperti dulu
 
Itulah beberapa bait dari sajak doa Iqbal. Mungkin batinnya menjerit pada setiap kesaksiannya atas zamannya; ummat ini seperti daun-daun yang berhamburan. Seperti daun-daun yang gugur diterpa angin, tak ada lagi kekuatan yang dapat menghimpunnya kembali, menatanya seperti ketika ia masih menggayut pada pohonnya.
 
Begitulah kenyataan ummat ini; mungkin banyak orang saleh diantara mereka, tapi semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah wadah yang bernama jama'ah. Mungkin banyak orang hebat diantara mereka, tapi kehebatan mereka hilang diterpa angin zaman. Mungkin banyak potensi yang tersimpan pada individu-individu diantara mereka, tapi semuanya berserakan di sana sini, tak terhimpun.
 
Maka jama'ah adalah alat yang diberikan Islam bagi umatnya untuk menghimpun daun-daun yang berhamburan itu; supaya kekuatan setiap satu orang saleh, atau orang hebat, atau satu potensi, bertemu padu dengan kekuatan saudaranya yang lain, yang sama salehnya, yang sama hebatnya, yang sama potensialnya.
 
Jama'ah juga merupakan CARA YANG PALING TEPAT UNTUK MENYEDERHANAKAN PERBEDAAN-PERBEDAAN PADA INDIVIDU. Di dalam satu jama'ah, individu-individu yang memiliki kemiripan disatukan dalam sebuah simpul. Maka meskipun ada banyak jama'ah, itu tetap jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Sebab JAUH LEBIH MUDAH MEMETAKAN ORANG BANYAK MELALUI PENGELOMPOKAN ATAU SIMPUL-SIMPULNYA, KETIMBANG HARUS MEMETAKAN MEREKA SEBAGAI INDIVIDU.
 
Maka jalan panjang menuju kebangkitan kembali ummat ini, harus dimulai dari menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, merajut kembali jalinan cinta diantara mereka, menyatukan potensi dan kekuatan mereka, kemudian `meledakkannya' pada momentum sejarahnya, menjadi pohon peradaban yang teduh, yang menaungi kemanusiaan.
 
Tapi itulah masalahnya. Ternyata itu bukan pekerjaan yang mudah. Ternyata cinta tidak mudah ditumbuhkan diantara mereka. Ternyata orang saleh tidak mudah disatukan. Ternyata orang hebat tidak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat yang lain. Mungkin itu sebabnya, ada ungkapan di kalangan gangster mafia; seorang prajurit yang bodoh, kadang-kadang lebih berguna dari pada dua orang jenderal yang hebat. Tapi tidak ada jalan lain; NABI UMMAT INI TIDAK AKAN PERNAH MEMAAFKAN SETIAP ORANG DI ANTARA KITA UNTUK MENINGGALKAN JAMA'AH SEMATA-MATA KARENA IA TIDAK MENEMUKAN KECOCOKAN BERSAMA ORANG LAIN DALAM JAMA'AHNYA. Sebab, kekeruhan jama'ah, kata Imam Ali Bin Abi Thalib Ra, jauh lebih baik daripada kejernihan individu.
 
DARI INDIVIDU KE JAMA'AH
Orang-orang saleh diantara kita harus menyadari, bahwa tidak banyak yang dapat ia berikan atau sumbangkan untuk Islam kecuali kalau ia bekerja di dalam dan melalui jama'ah. Mereka tidak dapat menolak fakta bahwa tidak ada orang yang dapat mempertahankan hidupnya tanpa bantuan orang lain, bahwa tidak pernah ada orang yang dapat melakukan segalanya atau menjadi segalanya, bahwa KECERDASAN INDIVIDUAL TIDAK PERNAH DAPAT MENGALAHKAN KECERDASAN KOLEKTIF. Bekerja di dalam dan melalui jama'ah tidak hanya terkait dengan fitrah sosial kita, tapi terutama terkait dengan kebutuhan kita untuk menjadi lebih efisien, efektif dan produktif.
 
Ada juga alasan lain. Kita hidup dalam sebuah zaman yang oleh ahli-ahlinya dicirikan sebagai masyarakat jaringan, masyarakat organisasi. Semua aktivitas manusia dilakukan di dalam dan melalui organisasi; pemerintahan, politik, militer, bisnis, kegiatan sosial kemanusiaan, rumah tangga, hiburan dan lainnya. Itu merupakan kata kunci yang menjelaskan, mengapa masyarakat moderen menjadi sangat efektif dan efisien serta produktif.
 
Masyarakat modern bekerja dengan kesadaran bahwa keterbatasan-keterbatasan yang ada pada setiap individu sesungguhnya dapat dihilangkan dengan mengisi keterbatasan mereka itu dengan kekuatan-kekuatan yang ada pada individu-individu yang lain. Jadi kebutuhan setiap individu Muslim untuk bekerja, atau beramal Islami di dalam dan melalui jama'ah, bukan saja lahir dari kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas, efesiensi dan produktivitasnya, tapi juga lahir dari kebutuhan untuk bekerja dan beramal Islami pada level yang setara dengan tantangan zaman kita.
 
Musuh-musuh kita mengelola dan mengorganisasi pekerjaan-pekerjaan mereka dengan rapi, sementara kita bekerja sendiri-sendiri, tanpa organisasi, dan kalau ada, biasanya tanpa manajemen.
 
Pilihan untuk bekerja dan beramal Islami di dalam dan melalui jama'ah hanya lahir dari kesadaran mendalam seperti ini. Tapi kesadaran ini saja tidak cukup. Ada persyaratan psikologis lain yang harus kita miliki untuk dapat bekerja lebih efektif, efisien dan produktif dalam kehidupan berjama'ah.
 
1. KESADARAN BAHWA KITA HANYALAH BAGIAN DARI FUNGSI PENCAPAIAN TUJUAN
Jama'ah didirikan untuk mencapai tujuan-tujuan besar. Untuk jama'ah bekerja dengan sebuah perencanaan dan strategi yang komprehensif dan integral. Di dalam strategi besar itu, individu harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan elemen yang diperlukan untuk mencapainya. Jadi sehebat apa pun seorang individu, bahkan sebesar apa pun kontribusinya, dia tidak boleh merasa lebih besar daripada strategi dimana ia merupakan salah satu bagiannya. Begitu ada individu yang merasa lebih besar dari strategi jama'ah, maka strategi itu akan berantakan. Untuk itu setiap indvidu harus memiliki kerendahan hati yang tulus.
 
2. SEMANGAT MEMBERI YANG MENGALAHKAN SEMANGAT MENERIMA
Dalam kehidupan berjama'ah terjadi proses memberi dan menerima. Tapi jika pada sebagian besar proses kita selalu berada pada posisi menerima, maka secara perlahan kita `mengkonsumsi' kebaikan-kebaikan orang lain hingga habis. Itu tidak akan pernah mampu melanggengkan hubungan individu dalam sebuah jama'ah. Betapa bijak nasihat KH Ahmad Dahlan kepada warga Muhammadiyah; "Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah".
 
3. KESIAPAN UNTUK MENJADI TENTARA YANG KREATIF
Pusat stabilitas dalam jama'ah adalah kepemimpinan yang kuat. Tapi seorang pemimpin hanya akan menjadi efektif apabila ia memiliki prajurit-prajurit yang taat dan setia. Ketaatan dan kesetiaan adalah inti keprajuritan. Begitu kita bergabung dalam sebuah jama'ah, kita harus bersiap untuk menjadi taat dan setia. Tapi ruang lingkup amal Islami yang sangat luas membutuhkan manusia-manusia kreatif. Dan kreativitas tidak bertentangan dengan ketaatan dan kesetiaan. Jadi kita harus menggabungkan antara ketaatan dan kreativitas; ketaatan lahir dari kedisiplinan dan komitmen, sementara kreativitas lahir dari kecerdasan dan kelincahan. Dan itu merupakan perpaduan yang indah.
 
4. BERORIENTASI PADA KARYA, BUKAN PADA POSISI
Jebakan terbesar yang dapat menjerumuskan kita dalam kehidupan berjama'ah adalah posisi struktural. Jama'ah hanyalah wadah bagi kita untuk beramal. Maka kita harus selalu berorientasi pada amal dan karya yang menjadi tujuan utama kita berjama'ah, dan memandang posisi structural sebagai perkara sampingan saja. Dengan begitu kita akan selalu bekerja dan berkarya ada atau tanpa posisi struktural.
 
5. BEKERJASAMA WALAUPUN BERBEDA
Perbedaan adalah tabiat kehidupan yang tidak dapat dimatikan oleh jama'ah. Maka adalah salah jika berharap untuk hidup dalam sebuah jama'ah yang bebas dari perbedaan. Yang harus kita tumbuhkan adalah kemampuan jiwa dan kelapangan dada untuk tetap bekerjasama di tengah berbagai perbedaan. Perbedaan tidaklah sama dengan perpecahan, dan karena itu kita tetap dapat bersatu walaupun kita berbeda.
 
JAMAAH YANG EFEKTIF
Mungkin jauh lebih realistis untuk mencari jama'ah yang efektif ketimbang mencari jama'ah yang ideal. Kita adalah ummat yang sakit. Setiap kita mewarisi kadar tertentu dari penyakit tersebut. Jika orang-orang sakit itu saling bertemu dalam sebuah jama'ah, pada dasarnya jama'ah itu juga merupakan jama'ah yang sakit. Itulah faktanya. Tapi tugas kita menyalakan lilin, bukan mencela kegelapan.
 
Jama'ah yang efektif adalah JAMA'AH YANG DAPAT MENGEKSEKUSI ATAU MEREALISASIKAN RENCANA-RENCANANYA. Kemampuan eksekusi itu lahir dari integrasi antara berbagai elemen; ada sasaran dan target yang jelas, strategi yang tepat, sarana pendukung yang memadai, pelaku yang bekerja dengan penuh semangat, lingkungan strategi yang kondusif.
 
Jama'ah yang didirikan untuk kepentingan menegakkan syariat Allah Swt di muka bumi, akan menjadi efektif apabila ia memiliki syarat-syarat berikut ini;
 
1. IKATANNYA AQIDAH, BUKAN KEPENTINGAN
Orang-orang yang bergabung dalam jama'ah itu disatukan oleh ikatan aqidah, dipersaudarakan oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan Islam. Mereka tidak disatukan oleh kepentingan duniawi yang biasanya lahir dari dua kekuatan syahwat; keserakahan (hubbud dunya) dan ketakutan (karahiatul maut).
 
2. JAMA'AH ITU SARANA, BUKAN TUJUAN
Jama'ah itu tetap diposisikan sebagai sarana, bukan tujuan. Sehingga tidak ada alasan untuk memupuk dan memelihara fanatisme sekadar untuk menunjukkan kesetiaan pada grup. Hilangnya fanatisme juga memungkinkan jama'ah-jama'ah itu saling bekerja sama diantara mereka, membangun jaringan yang kuat, dan tidak terjebak dalam
pertarungan yang saling mematikan.
 
3. SISTEM, BUKAN TOKOH
Jama'ah itu akan menjadi efektif jika orang-orang yang ada di dalamnya bekerja dengan sebuah sistem yang jelas, bukan bekerja dengan seseorang yang berfungsi sebagai sistem. Pemimpin dan prajurit hanyalah bagian dari strategi, sistem adalah sesuatu yang terpisah. Dengan cara ini kita mencegah munculnya diktatorisme dimana selera sang Pemimpin menjelma menjadi sistem.
 
4. PENUMBUHAN, BUKAN PEMANFAATAN
Sebuah jama'ah akan menjadi efektif jika ia memandang dan menempatkan orang-orang yang bergabung ke dalamnya sebagai pelaku-pelaku, yang karenanya perlu ditumbuh-kembangkan secara terus menerus, untuk fungsi pencapaian tujuan jama'ah itu. Jama'ah itu akan menempatkan dirinya sebagai fasilitator bagi perkembangan kreativitas individunya, dan tidak memandang mereka sebagai pembantu-pembantu yang harus dipaksa bekerja keras, atau sapi-sapi yang dungu yang harus diperah setiap saat.
 
5. MENGELOLA PERBEDAAN, BUKAN MEMATIKANNYA
Jama'ah yang efektif selalu mampu mengubah keragaman menjadi sumber kreativitas kolektifnya. Dan itu dilakukan melalui mekanisme syuro yang dapat memfasilitasi setiap perbedaan untuk diubah menjadi
konsensus.

02 April 2011

Ketaatan pada Pemimpin dalam Perspektif Islam

oleh Ust. Farid Nu'man

Taat kepada Qiyadah Da’wah apakah mutlak?

Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan ulil amri di antara kalian .. (QS. An Nisa (4): 59)

Para Salaf seperti Ibnu Abbas mengartikan Ulil Amri  ayat ini adalah Ahlul Fiqh wad Din (Ahli fiqih dan agama). Sedangkan Atha’, Mujahid, Hasan Al Bashri, Abul ‘Aliyah mengatakan, maksudnya adalah ulama. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/345. Darut Thayyibah Lin Nasyr  wat Tauzi’)

Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)

Jadi, makna Ulil Amri begitu luas sebagaimana diterangkan para mufassir, mereka bisa bermakna ulama, umara, khalifah, hakim, panglima perang, dan tentunya pemimpin dalam da’wah (Qiyadah Da’wah).  Bahkan dalam safar saja kita  disyariatkan menunjuk seseorang untuk menjadi pemimpin safar, lalu kita mentaatinya.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذا كان ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم‪‬‪‬

“Jika ada tiga orang melakukan perjalanan maka angkatlah salah seorang mereka sebagai pemimpin.”  (HR. Abu Daud No. 2608, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No.10129.  Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 763)

Ucapan seperti ini juga ada secara mauquf sebagai ucapan Umar bin Al Khathab. (Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1623, katanya: shahih sesuai syarat syaikhan. Ibnu Khuzaimah No. 2541. Syaikh Al Albani mengatakan: isnadnya shahih mauquf dan rijalnya tsiqat. Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah , 4/141)

Wajh Istidalal (sisi pendalilan)nya adalah jika dalam  bepergian saja disyariatkan mengangkat seorang pemimpin, maka apalagi dalam hal yang lebih urgen dari itu  seperti dakwah dan jihad. Ini diistilahkan dengan Qiyas Aula.

Maka, mentaati para pemimpin-pemimpin ini adalah perintah Allah Ta’ala sebagaimana surat An Nisa ayat 59 di atas.  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memerintahkan kita untuk mentaati pemimpin:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصا الله، ومن أطاع أميري فقد أطاعني، ومن عصا أميري فقد عصاني‪‬‪‬

“Barangsiapa yang mentaatiku maka dia telah mentaati Allah, barangsiapa yang membangkang kepadaku maka dia telah membangkang kepada Allah. Dan barang siapa yang mentaati pemimpinku (yakni pemimpin yang Rasul tunjuk) maka dia telah mentaatiku, dan barang siapa yang membangkang kepada pemimpinku maka dia telah membangkang kepadaku.” (HR. Bukhari No. 7137 dan Muslim No.1835)

Demikian konsep dasar ketaatan antara rakyat dengan pemimpinnya, umat dengan ulama, dan junud dengan qiyadahnya.

Apakah Ketaatan Mutlak?

Tidak ada ketaatan mutlak kecuali kepada Allah Ta’ala dan RasulNya. Oleh karenanya dalam surat An Nisa ayat 59, kata athi’uu (taatilah) hanya pada Allah dan RasulNya, tidak pada Ulil Umri.

Qiyadah seperti apa yang berhak mendapatkan ketaatan dari umatnya (baca: kader)? Al Hafzih Ibnu Hajar mengatakan setiap yang memerintahkan dengan kebenaran dan dia seorang yang adil, maka dia adalah pemimpin yang oleh Asy Syaari’ (pembuat syariat)  diperintahkan agar memerintah dengan syariatNya. (Fathul Bari, 20/152)

Jadi, patokannya adalah syariah, sejauh mana ketaatan pemimpin tersebut kepada Allah dan RasulNya, dan syariat yang diajarkan oleh RasulNya. Sejauh mana pula kebenaran perintah mereka  dalam timbangan syariah. Namun, sebagain ulama Ahlus Sunnah tetap mempertahankan bahwa pemimpin yang fasiq tetaplah harus ditaati perintahnya yang baik-baik, ada pun kefasiqannya ditanggung oleh dirinya sendiri sesuai hadits di atas.

Untuk perintah yang maksiat kepada Allah Ta’ala dan RasulNya, maka semua ulama sepakat tidak ada ketaatan kepada pemimpin yang memerintah seperti itu. Banyak hadits yang menegaskan hal demikian, di antaranya:

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:  

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

‪‬‪‬“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya ada pada yang ma’ruf (dikenal baik).” (HR. Bukhari No. 7257, Muslim No. 1840, Abu Daud No. 2625. An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 7828, 8721, Ahmad No. 724. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, No. 16386)

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

 

“Dengar dan taat atas seorang muslim adalah pada apa yang disukai dan dibencinya, selama tidak diperintah maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan didengar dan jangan ditaati.” (HR. Bukhari No. 7144, Abu Daud No. 2626. At Tirmidzi No. 1707. Ahmad No. 6278, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5117)

Dari hadits-hadits ini mereka sepakat, bahwa yang tidak ditaati adalah perintahnya saat ia memerintahkan perintah yang maksiat tersebut, baik perintah itu datangnya dari pemimpin yang adil atau zalim terhadap rakyatnya, suami ke pada isterinya, orang tua kepada anaknya, jenderal kepada prajuritnya, dan sebagainya.

Para ulama berbeda pendapat, apakah juga wajib tetap taat kepada pemimpin yang fasiq dan zalim, namun belum kafir. Ini dilihat dari sisi kepribadian pemimpin tersebut, bukan dilihat dari isi (content) yang diperintahkannya.

Kebanyakan Ahli hadits  mengatakan, tetap wajib  taat kepada pemimpin yang zalim dan fasiq, serta bersabar menghadapi mereka, selama mereka masih menegakkan shalat, dan belum melakukan tindakan yang mengeluarkannya dari Islam secara nyata (kufrun bawaah), dan selama perintahnya bukan maksiat, ada pun kefasikan dan kezaliman pemimpin, maka itu ditanggung oleh dirinya sendiri. Ini juga pendapat Imam Hasan Al Bashri.

 Sebagian muhaqqiq dari kalangan Syafi’iyah menyatakan wajibnya mentaati pemimpin, baik perintah atau larangan, selama bukan perintah haram. (Imam Al Alusi, Ruhul Ma’ani, 4/106)

Imam Ar Razi mengatakan, taat kepada  Allah, Rasul, dan Ahli ijma’ adalah pasti (qath’i), ada pun terhadap pemimpin dan penguasa, tidaklah taat secara pasti, bahkan kebanyakan adalah haram, karena mereka tidaklah memerintah melainkan dengan kezaliman (li annahum Laa ya’muruuna illa bizh zhulmi). (Mafatihul Ghaib, 5/250)

Mereka berdalil dengan banyak hadits, di antaranya hadits berikut:

إلا أن تروا كفرا بَوَاحا، عندكم فيه من الله برهان

                “Kecuali kalian melihatnya melakukan kekafiran yang nyata (kufrun bawaah), dan kalian telah mendapatkan bukti nyata dari Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari No. 7055  dan Muslim No. 1709)

                Dalil lainnya, dari Hudzaifah bin Al Yaman Radhiallahu ‘Anhu beliau berkata:

 ‫‬‫‬ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ كَيْفَ قَالَ يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

                “Ya Rasulullah, sesungguhnya mendapatkan keburukan lalu datanglah kebaikan dari Allah, dan kami saat itu masih ada. Apakah setelah kebaikan itu datang keburukan lagi?” Rasulullah menjawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya: “Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan lagi?” Rasulullah mejawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya: “Apakah setelah kebaikan akan datang keburukan lagi.” Rasulullah menjawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya lagi: “Bagaimana itu?” Rasulullah menjawab: “Akan ada setelahku nanti, para pemimpin yang tidaklah menuntun dengan petunjukku, tidak berjalan dengan sunahku, dan pada mereka akan ada orang-orang yang berhati seperti hati syaitan dalam tubuh manusia.” Hudzaifah bertanya: “Apa yang aku lakukan jika aku berjumpa kondisi itu Ya Rasulullah?” Rasulullah menajwab: “Dengarkan dan taati pemimpinmu,  walau punggungmu dipukul dan diambil hartamu, maka dengarkan dan taat.” (HR. Muslim No. 1847. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.16394, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 2960)

                Dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

 

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian, dan kalian juga mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka, dan mereka pun melaknat kalian.” Rasulullah ditanya: “Ya Rasulullah tidakkah kami melawannya dengan pedang?” Rasulullah menjawab: “Jangan, selama mereka masih shalat bersama kalian. Jika kalian melihat pemimpin kalian melakukan perbuatan yang kalian benci, maka bencilah perbuatannya, dan jangan angkat tangan kalian dari ketaatan kepadanya.”   (HR. Muslim No. 1755, Ahmad No. 24027, . Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 16400, Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 116, 117, Ad Darimi No. 2797)

                Imam An Nawawi mengatakan, tidak dibenarkan keluar dari ketaatan kepada pemimpin  jika semata karena kezaliman dan kefasikannya, selama dia tidak merubah kaidah-kaidah agama. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/327)

                Selain itu, Imam Bukhari menulis sebuah Bab dalam kitab Shahih-nya, Kewajiban berjihad bersama orang baik atau fajir (Al Jihad Maadhin ‘Alal Barri wal Faajir). Begitu pula Imam Abu Daud, beliau membuat bab dalam kitab Sunan-nya, Perang Bersama Pemimpin yang Zalim (Fil Ghazwi ma’a A’immati Al Jauri).  Sehingga Imam Ahmad menjadikannya alasan bahwa tidak ada perbedaan  antara  berjihad bersama pemimpin yang adil atau zalim, keutamaan-keutamaan jihad tetap akan didapatkan. (Fathul Bari, 8/474). Begitu pula yang dikatakan Imam Asy Syaukani (Nailul Authar, 11/495). Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan, tidak disyaratkan berjihad itu harus dengan hakim yang adil, atau pemimpin yang baik, sebab jihad wajib dalam segala keadaan. (Fiqhus Sunnah, 2/640)

                Begitu juga dalam shalat, para ulama menetapkan kebolehan  berimam kepada orang zalim dan fasiq, karena dahulu para sahabat, di antaranya Ibnu Umar pernah  berimam kepada penguasa zalim, gubernur Madinah,  Hajaj bin Yusuf Ats Tsaqafi (pembunuh Abdullah bin Zubeir) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam bukhari. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Said Al Khudri shalat dibelakang khalifah Marwan.   Imam An Nasa’i membuat Bab dalam kitab Sunan-nya, Shalat Bersama Imam Zalim. (Ash Shalatu Ma’a A’immatil Jauri).

                Demikianlah alasan para ulama yang tetap mewajibkan taat kepada pemimpin fasiq dan zalim, selama mereka masih muslim, dan isi perintahnya adalah bukan maksiat.

                Sementara, sebagian Imam Ahlus Sunnah lainnya menyatakan tidak wajib taat kepada pemimpin yang zalim dan fasiq, karena kefasikan dan kezalimannya itu, bukan hanya karena faktor isi perintahnya saja yang berisi maksiat.

                Dalilnya adalah:

“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)

“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)

                Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)

                Artinya, ketika pemimpin tersebut sudah tidak di atas kebenaran (baik karena perilaku atau pemahaman pribadi), maka tidak ada kewajiban taat kepadanya. Imam Al Baidhawi tidak membicarakan tentang isi perintahnya. Makna pemimpin pun tidak sebatas pada khalifah, tetapi juga pemimpin apa pun, termasuk dalam konteks pembahasan kita, yakni qiyadah sebuah jamaah atau organisasi.

Akhirnya ..., setelah panjang lebar kami menguraikan, bagaimana menyikapi pemimpin yang melakukan penyimpangan, fasiq, dan zalim, nampak jelas bagi kami bahwa sikap tetap taat dan sabar adalah lebih utama dan lebih membawa maslahat, dan dapat mencegah kemudharatan serta chaos berkepanjangan, walau  keputusan dan perilaku sebagian qiyadah sangat ‘menggeramkan’ dan ‘menjengkelkan’ menurut sebagian kader, yang penting   kader tidak diperintah untuk maksiat yang nyata, dan baik sangka lebih dikedepankan, bahwa mustahil qiyadah memerintahkan kadernya untuk maksiat kepada Allah Ta’ala.  Dan wajh istidlal (sisi pendalilan) sikap ini pun lebih argumentatif dan legitimate.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫‬‫‬ مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

               

“Barangsiapa yang melihat pemimpinnya ada sesuatu yang dibencinya, maka hendaknya dia bersabar, sebab barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Bukhari No. 7054 dan Muslim No. 1849)

            Dari hadits ini, tentu kami tidak  mengatakan ‘jahiliyah’ orang yang keluar dari jamaah tarbiyah, sebab hadits ini sedang berbicara tentang jamaatul muslimin (jamaah umat Islam keseluruhan). Tetapi ada pelajaran berharga dari hadits ini yakni perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  kepada umatnya agar bersabar  menghadapi pemimpin yang perilaku, pemahaman, atau keputusannya tidak disukai mereka. Ini alasan yang kuat kenapa kader hendaknya mengambil sikap taat dan sabar. Kami rasa sikap ini lebih bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, karena didasari oleh dalil dan pandangan para ulama,  bukan karena emosi.

Imam An Nawawi menjelaskan makna miitatan jahiliyah (mati jahiliyah) dalam hadits tersebut,  dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah). (Al Minhaj Syarah  Shahih Muslim, 6/322)

                Sementara Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar, menjelaskan;  bahwa yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 11/399)

Ada pun surat Al Kahfi ayat 28: “Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami.” Tidak bisa dijadikan hujjah, sebab maksudnya adalah orang-orang yang hatinya lebih condong kepada syirik dibanding tauhid. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 4/384). Atau menyibukkan diri dengan dunia dan melupakan ibadah dan Rabbnya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, 5/154). Apakah ada yang tega menyebut qiyadah telah melakukan syirik yang nyata? (misal, karena iklan Soekarno, “Aku adalah budak rakyatku,” yang membawa dampak Syirk lafzhiyah). Atau mengatakan, qiyadah telah mendahulukan dunia di banding ibadah dan Rabbnya, bukankah mereka memiliki lembaran mutaba’ah harian? Maka, bagi  (kader)  yang menyatakan demikian, maka dia telah ghuluw (kelewat batas) dan lebih mendahulukan zhan.

Masalahnya adalah benarkah qiyadah telah melakukan tindakan kefasiqan, kezaliman, dan apa pun yang membuatnya layak untuk tidak ditaati menurut sebagian ulama?  Ataukah itu karena perasaan, tuduhan, atau informasi yang tidak utuh, atau ada pihak ketiga yang bermain dan lebih dipercaya oleh kader, atau hanya karena perbedaan ijtihad politik saja? Jika benar qiyadah telah melakukan kefasiqan dan kezaliman, itu pun bukan alasan yang kuat untuk membangkang sebagaimana uraian panjang di atas, paling jauh kita boleh menasihatinya, jika tidak mau menerima nasihat maka urusannya dikembalikan kepada Allah Ta’ala. Jika tidak benar mereka melakukan kefasikan, maka lebih tidak ada alasan lagi untuk membangkang.  Namun, seharusnya   qiyadah pun harus memberikan penjelasan internal, tanpa ada yang disembunyikan, tentang berbagai masalah yang digugat oleh kader.  Wallahu A’lam

Ketahuilah dan fahamilah ..., betapa pun keras kritikan kader terhadap qiyadah, maka qiyadah bukanlah syaitan yang selalu berbuat salah dan selalu mengajak pada kesalahan. Sebagaimana kader  pun bukanlah malaikat yang selalu benar tanpa kesalahan.

 

Kesimpulan

Ada dua sisi yang mesti dilihat dalam taat atau tidak kepada qiyadah:

1.       Kandungan atau isi Perintahnya

Jika isi perintah tersebut adalah haram secara qath’i, qiyadah memerintahkan kader da’wah untuk maksiat kepada Allah Ta’ala pada masalah yang memang benar-benar maksiat, atau qiyadah menghalalkan yang jelas-jelas Allah Ta’ala haramkan. Maka, tidak ada taat kepada mereka, bahkan haram taat kepada mereka, walaupun yang memerintahkan adalah pemimpin yang shalih dan adil. Ini merupakan kesepakatan ulama.

Sedangkan dalam masalah yang masih diperselisihkan –dan ini yang sering terjadi-, nash tidak membicarakannya, atau membicarakannya tapi multitafsir, sehingga membuka peluang diskusi dan perbedan yang luas, maka mentaati mereka tetap dianjurkan. Sebab keputusan pemimpin merupakan penghilang khilafiyah. Jika kader maunya A, tetapi qiyadah berpendapat B, dan ini adalah masalah yang debatable maka mengikuti mereka tetap wajib, untuk menutup pintu fitnah permusuhan, keretakan dan perpecahan jamaah, dan itu merupakan adab hidup berjamaah dan bermusyawarah. Masing-masing pihak tidak dibenarkan menuduh yang lain telah melanggar syariat Allah Ta’ala dengan pendapatnya itu.

Inilah yang dinasihatkan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah:

ورأي الإمام ونائبه فيما لا نص فيه ، وفيما يحتمل وجوها عدة وفي المصالح المرسلة معمول به ما لم يصطدم بقاعدة شرعية , وقد يتغير بحسب الظروف والعرف والعادات , و الأصل في العبادات التعبد دون الالتفات إلى المعاني , وفي العاديات الالتفات إلى الأسرار و الحكم و المقاصد

“Pendapat seorang pemimpin dan wakilnya dalam perkara yang di dalamnya tidak dibahas oleh nash, dan dalam perkara yang multitafsir, dan dalam maslahat mursalah maka itu bisa diamalkan selama tidak bertabrakan dengan kaidah syara’, dan dapat berubah seiring perubahan keadaan, tradisi, dan adat. Hukum dasar dari ibadah adalah ta’abbud (ketundukan) tanpa mencari-cari kepada makna-maknanya, sedangkan dalam hal adat dibolehkan mencari rahasia, hikmah, dan maksud-maksudnya.” (Ushul ‘Isyrin No. 5)

2.       Kondisi Qiyadah Yang Memerintahkannya

Jika pemimpin itu termasuk pemimpin yang dikenal baik, adil, dan shalih, maka tetap mentaati mereka dalam suka dan duka, yang kita mau dan yang tidak kita mau, selama bukan diperintahkan maksiat. Ini juga telah disepakati.

Sedangkan jika pemimpin itu zalim dan fasik, belum sampai tingkat kufrun bawwah (kekafiran yang nyata). Maka, pendapat yang kuat di antara dua pendapat adalah bersabar terhadap mereka, lalu mentaatinya jika isi perintah mereka yang baik-baik, dan tidak mentaati jika perintahnya maksiat kepada Allah Ta’ala.

Sementara yang lain mengatakan, jangan mentaati mereka walau isi perintahnya baik-baik, mesti memakzulkan mereka karena mereka zalim dan fasik. (Lihat pada pembahasan Menyikapi Penguasa Yang Zalim)



Sekian. Wallahu A’lam