Telah ada fatwa tentang haramnya seorang muslim aktif di parlemen. Alasannya, Allah Swt melarang kaum muslimin duduk satu majelis dengan orang-orang kafir yang memperolok-olok ayat Allah Swt, Keberadaan seorang muslim yang memperjuangkan aspirasi umat Islam di parlemen adalah ajang bagi orang-orang kafir untuk memper-olok-olok ayat-ayat Allah Swt di depan mereka. Alasan lain, parlemen bukan terlahir dari Islam, melainkan wajihah kufur dari Barat.
Sesungguhnya di antara musibah yang menimpa kaum muslimin saat ini adalah ghirah Islam yang begitu tinggi, tetapi tidak diikuti landasan ilmu dan tashawwur (persepsi) yang benar terhadap ajaran Islam. Belum termasuk kelengahan sebagian ulamanya yang mudah menelorkan tarwa-fatwa instan yang justru kontraproduktif dengan perjuangan kaum muslimin. Itulah yang ditunggu-tunggu musuh-musuh Islam. Gerakan Islam yang mengatur strategi perjuangan dan pemanfaatan sarana terhenti dan jatuh lantaran fatwa-fatwa janggal yang mengharamkan parlemen, Pemilu dan partai politik. Anehnya mereka merasa telah berjasa untuk Islam dengan perbuatannya itu. Tanpa mereka sadari, musuh Islam bertepuk tangan dan berterima kasih kepada mereka karena telah menyelesaikan sebagian tugas musuh Islam dengan gemilang untuk mencegah para pejuang yang begitu payah memperjuangkan kejayaan agamanya.
a. Tentang Parlemen
Istidlal (pengambilan dalil) yang dilakukan untuk mengharamkan parlemen sungguh tidak pada tempatnya. Kekhawatiran bahwa ayat-ayat Allah Swt akan diperolok-olok jika kita hadir di sana pun adalah alasan yang mengada-ada. Begitupun anggapan keikutsertaan di parlemen atau pemerintahan tidak Islami adalah bentuk pengakuan terhadap kesekuleran mereka. Namun, alasan itu pun tidak tepat karena Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya (HR Imam bukhari dan Imam Muslim. Hadist itu masyhur menurut kalangan Hanafiyah).
Ibnu Taimiyah berkata, Itu merupakan perkara yang harus dibedakan menurut niat dan tujuannya. Siapa yang menjadi pembantu penguasa zalim, lalu menjadi penengah antara penguasa dan rakyat yang dizalimi agar penguasa itu menghentikan kezalimannya, ia adalah orang baik. Namun, jika ia cenderung membantu penguasa yang zalim itu, ia termasuk yang berbuat buruk.41)
Seorang muslim yang menjadi anggota dewan di parlemen tidak mengira dan tidak pernah terlintas dalam kesadarannya akan munculnya olok-olok kaum kafir di parlemen terhadap ayat-ayat Allah Swt. Bahkan, sekalipun ada, justru itu menjadi hujjah (alasan) baginya untuk berada di parlemen mengurangi kezaliman mereka semampunya atau sebagai pengimbang kekuatan kuffar. Jadi, bukan lari dan menghindari kuffar yang justru membuat mereka leluasa melecehkan Islam dan kaum muslimin. Akhirnya, umat Islam tidak memiliki wakil dan tidak tahu cara untuk menyalurkan aspirasinya. Apa jadinya lantaran fatwa itu- umat Islam tidak memiliki satu pun wakil parlemen di negerinya sendiri? Semuanya nonmuslim, sekuler bahkan ada yang musyrik atau ateis dan mereka semua memusuhi Islam. Tentunya, mustahil kepentingan umat Islam mendapat jatah yang wajar. Sebaliknya, jahiliyah mendapat tempat yang luas secara fikrah maupun hukum-hukumnya.
Berkata Mamun al Hudaibi, Ikhwan tidak melibatkan diri dalam parlemen untuk membuat produk hukum yang tidak Islami. Namun paling tidak, sedapat mungkin mencegah keluarnya hukum-hukum jahiliyah. Ikhwan menggolongkan pekerjaan itu sebagai bagian amar maruf nahi munkar. Meski demikian, nahi munkar tidak akan berhasil hanya dengan slogan dan pernyataan bahwa hal ini atau hal itu haram. Namun, sebuah alternatif lain pun mesti diperkenalkan untuk menghindari kesalahan fatal.42)
Apakah kita rela jika khamr menjadi halal karena telah disahkan DPR/MPR? Apakah pelacuran mendapatkan legalitas karena telah sah menurut peraturan daerah karena omzetnya sangat besar bagi pendapatan asli daerah? Apakah kita mau pelajaran agama dihilangkan dari sekolah hanya karena berbau SARA (dan itu sudah ditetapkan melaui Tap MPR). Apakah kita akan diam jika tabligh akbar atau majlis talim dibubarkan karena dilarang UU antiterorisme? Apakah itu semua yang kita inginkan hanya karena haram berada di dalamnya sehingga di sana tidak satu pun aktivis Islam yang mencegah dan melawan semua itu?
Demikian masalahnya yang ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Mufti yang profesional akan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada dan tidak berpikir naif dan pendek agar fatwa yang dihasilkan memiliki kekuatan yuridis (hujjah) dan membumi serta relevan dengan realitas yang berkembang di masyarakat. Bagi para mufti (pemberi fatwa), ada baiknya memperhatikan nasihat Syaikh al Imam Muhammad Abu Zahrah rahimahullah, Syarat lain seorang mufti adalah harus tahu benar kasusnya dan mempelajari psikologi peminta fatwa dan lingkungannya agar dapat diketahui dampak negatif maupun positif dan fatwa sehingga tidak menjadikan agama Allah Swt bahan tertawaan dan permainan.43)
Hal itu sama dengan keikutsertaan seorang muslim dalam pemerintahan yang zalim (tidak islami). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Segala puji bagi Allah . Jika ia berusaha berbuat adil dan menyingkirkan kezaliman menurut kesanggupannya dan kekuasaan itu mendatangkan kebaikan dan maslahat bagi orang-orang muslim daripada dipegang orang lain, ia diperbolehkan memegang kekuasaan itu dan dia tidak berdosa karenanya. Bahkan, jabatan itu lebih baik daripada di tangan orang lain dan menjadi wajib jika tidak ada orang lain yang sanggup memegangnya.44)
Ibnu Taimiyah melanjutkan, Jika ada yang berkata, Engkau tidak boleh terlibat dalam kekuasaan itu dan engkau harus angkat kaki darinya padahal jika ditinggalkan akan diambil alih orang lain dan kezaliman semakin menjadi-jadi berarti orang yang berkata seperti itu adalah orang yang bodoh dan tidak bisa membaca keadaan dan hakikat agama.45)
Bahkan, ada pandangan ekstrem dari Imam Izzuddin bin Abdus Salam, Jika orang kafir menjadi pemimpin suatu wilayah yang luas, lalu mereka melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dapat mendatangkan maslahat bagi orang-orang mukmin secara umum, keadaan itu dapat dijalankan karena mendatangkan mashalat secara umum dan menyingkirkan mafsadat sekalipun jauh dari rahmat syariat karena memang orang yang memiliki kesempurnaan dan layak diserahi kekuasaan itu tidak ada.46)
Demikianlah pandangan yang mendalam dari para Imam kita. Adakah kita dapat mengambil pelajaran? Jika kita baca sejarah umat ini dengan baik, niscaya akan kita temukan bahwa konsep parlemen telah ada dalam perjalanan kehidupan politik umat Islam pada masa-masa keemasannya. Pada masa Khalifatur Rasyid kedua, Umar bin Khattab Ra, beliau telah menunjuk enam orang sahabat Nabi Saw yang senior dan alim 47) untuk mendiskusikan calon pengganti dirinya. Itulah parlemen sederhana dan sementara yang mewakili segenap suara umat Islam masa itu. Para Ulama kita memberi nama ahlul halli wal aqdi (Dewan Perwakilan). Adapun parlemen yang kita kenal saat ini adalah bentuk modern dan lebih kompleks dari ahlul halli wal aqdi saat itu.
b. Tentang Pemilu atau Pemungutan Suara
Sebagian kaum muslimin telah mengigau dengan menganggap syirk berpartisipasi dalam pemungutan suara.48) Pemungutan suara atau Pemilu adalah bentuk perampasan hak Allah Swt sebagai Hakim karena dalam Pemilu keputusan ditentukan manusia, bukan Allah. Anggapan itu amat gegabah. Disadari atau tidak, orang-orang seperti itu terjebak pada tuduhan sesat ke mayoritas umat Islam karena mayoritas umat Islam telah menggunakan cara itu untuk memilih anggota legislatif dan pemimpin. Ada beberapa hal yang perlu kita dudukkan sesuai tempatnya.
Pertama, kita bicara tentang Pemilu di negeri muslim: kandidatnya muslim, pemilihnya pun muslim dan keterlibatan nonmuslim dalam proses itu sangat tidak signifikan.49). Kedua, adanya campur tangan namusia untuk menentukan jalan hidupnya selama masih dalam kaidah umum nash syariat Islam. Allah Swt berfirman, hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu.(QS ath Thalaq:2). Jika kamu khawatir adanya perselisihan antara keduanya, hendaklah kamu hadirkan seorang hakim dari keluarga suami dan seorang hakim dari keluarga isteri. (QS an Nisa:35). Ketiga, jika kita perhatikan dengan seksama Pemilu atau pemungutan suara menurut Islam adalah pemberian kesaksian terhadap kelayakan calon pejabat negara atau calon anggota dewan. Oleh karena itu, si pemilih harus punya kelayakan sebagai seorang saksi adil dan baik perilakunya sehingga orang banyak ridha kepadanya. Allah azza wa Jalla berfirman, hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu. (QS ath Thalaq:2) dari saksi-saksi yang kamu ridhai. (QS al Baqarah:282). Si pemilih harus jujur bahwa orang yang dipilihnya adalah orang shalih. Jika ternyata bohong (tidak shalih), berarti ia telah berbuat dosa besar karena memberikan qauluz zur (kesaksian palsu). Jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta (kesaksian palsu). (QS al Hajj:30).
Jadi, siapa saja yang memberikan kesaksian (memilih) calon pemimpin atau lainnya semata-mata karena orang tersebut masih kerabatnya, karena putera daerahnya atau demi keuntungan pribadi dari pilihannya (baca: nepotisme) tanpa memperhatikan kesolehan dan kecakapan, berarti itu menyalahi perintah Allah Swt, Hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. (QS ath Thalaq:2).
Di sisi lain, siapa yang tidak mau memberikan kesaksian (hak suara) sedangkan orang yang tidak layak dan tidak memenuhi syarat mendapatkan kemenangan; berarti ia telah menyembuhyikan kesaksian yang sangat dibutuhkan umat. Allah Azza wa Jall berfirman, Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) jika mereka dipanggil. (QS alBaqarah:208) Janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Siapa saja yang menyembunyikannya, sesungguhnya dialah orang yang berdosa hatinya. (QS alBaqarah:283)
Kesaksian terhadap sifat dan syarat kandidat yaitu shalih, layak dan berilmu adalah hal yang lebih utama untuk diperhatikan. Pada akhirnya, patokan dan arahan dalam Pemilu yang seolah berasal dari luar tampak sejalan dengan Islam)
c. Tentang Partai Politik
Saudara-saudara kami bersuara miring terhadap Ikhwan lantaran menurut mereka- saat ini Ikhwan telah menyimpang dari manhaj Hasan al Banna. Bukanlah al Banna menolak berdirinya partai-partai dan tegas mengatakan bahwa Ikhwan bukan partai? Namun dalam perjalanannya, para pengikut gerakan ini di banyak negara telah mendirikan parta politik sebagai salah satu sarana dakwanya.51) Ada pula saudara-saudara kami semoga Allah Swt meluruskan kita semua- menyatakan bahwa mendirikan parpol adalah haram dan bidah. Alasannya, parpol bukan sarana dakwah Rasulullah Saw dan salafush shalih. Selain itu, adanya parpol Islam mengindikasikan adanya perpecahan di tubuh umat Islam dan tentunya hal itu haram juga.
Kepada kelompok pertama, seharusnya terlebih dahulu mereka mengetahui salah satu karakter agama ini, yaitu murunah (fleksibel), bagi masalah-masalah yang tidak ada nashnya secara jelas dan tegas. Begitu pula karakter dakwah Islam yang dipahami Ikhwan selalu terbuka bagi perubahan yang positif dan bermanfaat. Itu bukanlah cela dan bukan pula penyimpangan manhaj. Hal itu memiliki landasan kuat dalam konstitusi Islam dan sejarahnya. Imam Syahid Hasan al Banna bukanlah ulama yang jumud, bukan pula diktator yang memberlakukan hasil ijtihadnya kepada orang lain dalam waktu tidak terbatas. Ucapannya bukanlah firman Allah Swt, bukan pula sabda baginda Nabi Saw yang mashum. Seandainya ijtihad beliau benar seperti penolakan terhadap keberadaan partai-partai pada masanya- ijtihad itu benar dan pas pada masa dan tempatnya, tetapi belum tentu benar dan pas pada masa dan tempat yang berbeda. Sesungguhnya perbedaan al Banna dengan pengikutnya bukanlah perbedaan dalil-dalil, melainkan perbedaan situsasi, kondisi, zaman dan tempat. Hal ini telah masyhur di kalangan ahli ilmu bahwa ijtihad atau fatwa tentang masalah yang sama sangat mungkin berubah sesuai perubahan situasi, kondisi, zaman dan tempat. Selama mencakup muatan yang memang mungkin berubah (mutaghayyirat), bukan yang baku (tsabit) seperti rukun iman, rukun sholat dan rukun Islam.
Berkata Ibnu Abidin, Masalah-masalah fiqhiyah adakalanya ditetapkan hukumnya berdasarkan nash (teks) yang sharih (jelas) dan adakalanya ditetapkan melalui ijtihad. Pada umumnya, seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan kebiasaan yang berkembang pada zamannya. Seandainya ia berada pada zaman yang lain dengan kebiasaan yang baru, niscaya ia akan mengeluarkan pendapat bahwa mujtahid harus mengenali kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Dapat dimengerti jika terdapat banyak ketetapan hukum yang berbeda-beda lantaran perbedaan zaman. Dengan kata lain, seandainya suatu diktum hukum ditetapkan seperti sediakala, niscaya timbul masyaqqat (banyak kesulitan) dan mudharat bagi manusia. Selain itu, hal itu bertentangan dengan kaidah syariat yang didasarkan pada takhfif (meringankan), taysir (memudahkan) dan dafu adh dharar (menghindari kerusakan) demi terwujudnya tatanan masyarakat yang baik dan kokoh. Oleh karena itu, kita dapati tokoh-tokoh ulama mazhab menentang ketetapan hukum mengenai banyak hal yang telah ditetapkan masyarakat berdasarkan situasi dan kondisi yang ada pada zamannya. Jika diandaikan tokoh ulama mazhab itu hidup sezaman dengan mereka, niscaya ia akan berpandangan sama dengan pendapat mereka (baca: masyarakat).52)
Berkata Syaikhul Islam Yusuf al Qaradhawy, Tanpa mengenal manusia dan bersosialisasi dengan mereka, seorang mufti akan berada dalam kesesatan atau tertidur dalam khayalan dan berseberangan dengan kondisi umat sesungguhnya. Ia hanya mengetahui hal yang seharusnya (idealitas) tanpa mengetahui hal yang sebenarnya terjadi (realitas), sedang hal yang ideal tentu berbeda dengan kenyataan. Kemudian, al Qaradhawy mengutip ucapan Ibnul Qayyim dalam Ilamul Muwaqiin, Seorang yang faqih adalah orang yang mengaplikasikan secara sinkron nilai yang ideal dan nilai yang sedang terjadi karena setiap masa memiliki kentuan hukum tersendiri dan manusia cermin kemiripan dengan kondisi masa mereka seperti kemiripan mereka dengan orangtua mereka.53)
Seandainya al Banna hidup hingga kini, tidak mustahil ia akan mengubah ijtihad-nya karena ia bukan jenis ulama yang kaku. Hal itu terjadi pula pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy Syaibani yang banyak berbeda pendapat dengan gurunya sendiri, Imamul azham Abu Hanifah. Para ulama kita menyebutkan bahwa perbedaan antara murid dan guru itu bukanlah perbedaan dalil, melainkan perbedaan waktu dan kondisi. A Imam Nahirus Sunnah Asy SyafiI ra ketika masih tinggal di Madinah memiliki pandangan fiqh dan ijtihad yang sering disebut Qaul Qadim (pendapat lama). Namun ketika hijrah ke Mesir seiring dengan perbedaan kondisi yang dihadapi serta kematangan usia dan ilmu- beliau merevisi pendapatnya dalam Qaul Jadid (pendapat baru). Semua yang mereka lakukan sejalan dengan contoh dari Rasulullah Saw dan sahabatnya.
Rasulullah Saw pernah melarang kaum wanita berzirah kubur. Namun ketika kondisi berubah dan akidah tauhid telah menghujam ke dalam dada, Rasulullah Saw mengizinkan mereka.54) Rasulullah Saw pernah melarang seorang suami baru mencium insterinya saat pemuda itu berpuasa. Namun, pada saat hampir bersamaan Rasulullah Saw membolehkan seorang suami yang sudah lama mencium isterinya saat berpuasa. Perbedaan izin itu berdasarkan pada perbedaan keduanya. Biasanya suami baru lebih sulit mengendalikan hasrat seksualnya dibanding suami yang sudah lama dan dikhawatirkan akan membahayakan puasanya. Selain itu, salah satu adab perang dalam Islam adalah Rasulullah Saw melarang menebang pepohonan. Namun ketika perang melawan Yahudi, Rasulullah Saw membolehkan menebang pepohonan sebagai strategi untuk melemahkankondisi mereka.
Abdullah bin Abbas Ra pernah ditanya seorang pemuda, Jika aku membunuh, apakah tobatku akan diterima? Ibnu Abbas menjawab, Tidak! Jawaban itu amat mengejutkan sahabat lainnya. Ibnu Abbas pun memberi tanggapan, Aku melihat di mata orang muda itu, ada keinginan yang amat kuat untuk membunuh. Jadi, jawaban tidak Ibnu Abbas Ra adalah upaya untuk menakut-nakuti pemuda itu agar mengurungkan niatnya membunuh. Seandainya pembunuhan itu terjadi, lalu pemuda itu bertanya tentang hal yang sama, niscara Ibnu Abbas Ra akan menjawab Ya agar pemuda itu tidak putus asa dari rahmat dan ampunan Allah azza wa jalla. Itu semua adalah bukti kedalaman ilmu Ibnu Abbas Ra yang mengerti betul perubahan fatwa karena perbedaan kondisi, waktu dan tempat.
Uraian ini sudah amat menjelaskan bahwa parai politik Islam yang didirikan Ikhwanul Muslimun adalah salah satu sarana dakwah dan bukanlah hal yang tabu, apalagi keliru, walau pendiri Ikhwan mencela keberadaan partai-partai pada masanya. Hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan penyimpangan manhaj Ikhwan masa kini karena hanya masalah ijtihadi yang berubah-ubah. Sarana dakwah itu sama kedudukannya di mata Ikhwan dengan sarana-saranan lainnya, seperi yayasan-yayasan sosial, kelompok diskusi, karang taruna atau kelompok kajian budaya. Pembeda semua itu adalah objeknya. Jika partai bergerak di wilayah politik, sarana lain bergerak di wilayah sosial, pendidikan dan budaya.
Kepada kelompok kedua, menahan lisan dari mengucapkan kata-kata haram dan bidah terhadap masalah-masalah yang masih diperdebatkan adaah sikap seorang alim yang benar. Adapun membiarkan lisan dan tulisan bergerak liar menuruti hawa nafsu dengan membuat vonis haram-bidah, selain bukan sifat ahli ilmu, bukan pula akhlak salafush shalih yang sama-sama kita teladani. Allah azza wa jalla berfirman, Janganlah kamu mengatakan terhadap sesuatu yang disebut-sebut lidahmu secara dusta, Ini halal dan ini haram untuk mengadakan kebohongan terhadap Allah (an Nahl: 116)
Sesungguhnya itu adalah urusan dunia yang hukum asalnya mubah, kecuali ada nash yang melarangnya sesuai kaidah, Kullu Asya al Ibahah illa Ma Warada Anisy Syari Tahrimuhu. Segala sesuatu diperbolehkan kecuali ada ketetapan dari syari (pembuat syariat) tentang pengharamannya. Mereka mengatakan haram dan bidah-nya partai politik semata karena hal itu tidak pernah dilakukan dan diajarkan Rasulullah Saw, sahabat dan salafush shalih. Alasan itu amatlah sederhana untuk mengharamkan sesuatu yang sebenarnya telah memiliki hak eksistensi menurut keluasan kaidah syariat. Tidak ada yang mennyangkal bahwa telah banyak perubahan dan hal-hal baru pada masa sahabat yang belum ada pada masa Rasulullah Saw. Pada masa tabiin pun perubahan terjadi. Namun, ahli ilmu saat itu jauh lebih dalam ilmunya dan jauh lebih takut kepada Allah Swt dibandingkan kita- tidak ada yang mengingkari semua perubahan itu.
Pada masa Abu Bakar ash Shiddiq Ra, beliau mengadakan Baitul Maal yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat senior lain tidak ada yang mempermasalahkan, apalagi melarangnya. Justru mereka mendapat manfaat darinya. Pada masa Umar Ra, beliau mengadakan penjara bagi pelaku tindak kejahatan, menggaji prajurit perang dan menyediakan mahkamah pengadilan. Itu adalah hal yang benar-benar baru saat itu dan tidak ada yang melarangnya. Pada masa Utsman bin Affan Ra telah mapan, dilakukan kodifikasi mushaf alQuran padahal pada masa Rasulullah Saw alQuran hanya berupa mushaf terpisah. Haramkah itu semua? Bidah-kah? Barangkali memang bidah (hal yang baru), tetapi bukan dalam pengertian bidah syara, melainkan bidah dalam arti lughawi (bahasa).
Partai politik adalah benar sesuatu yang baru (bidah), tetapi bukanlah bidah dalam pengertian syara. Para ulama mengatakan, semua bidah dalam agama yang tidak ada landasannya secara khusus aau umum adalah bidah dhalalah (sesat). Tidak ada bidah hasanah di dalamnya. Itulah makna hadit Kullu bidatin dhalalah (setiap bidah adalah sesat). Berkata Imam Malik Ra, Siapa yang berbuat bidah, lalu mengira baik (hasanah) perbuatannya itu, sama saja menuduh Nabi Muhammad Saw mengkhianati risalah (Islam). Berkata Hasan al Banna, Setiap bidah dalam agama Allah Swt yang tidak ada pijakannya, berupa penambahan maupun pengurangan tetapi dianggap baik hawa nafsu manusia adalah kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan secara sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan keburukan yang lebih parah.
Tegasnya, bidah yang diharamkan adalah ajaran berupa pemikiran atau praktik baru dalam urusan agama yang tidak memiliki dalil khusus atau umum. Ajaran tersebut ibarat sesuatu yang menyelinap dan menyusup ke dalam Islam, padahal bukan bagian dari Islam. Adapun urusan dunia, inovasi yang dibuat manusia tidak termasuk bidah yang sesat! Barangkali itulah yang cocok disebut bidah hasanah itu. Rumah sakit, bank Islam, majalah sekolah, kampus, organisasi adalah hal bru yang belum pernah ada pada masa Nabi Saw atau satu abad setelahnya. Hanya manusia purba yang meng-kategori-kan semua itu sebagai bentuk bidah sesat. Salafush shalih berlepas diri dari anggapan seperti itu. Jika ada manusia seperti itu, tidak perlu pandangannya mengatas-namakan manhaj salaf. Kasihan sekali para pendahulu kita sebaik-baik umat dan masa- telah dizalimi orang-orang yang tidak mampu menampilkan wajah salaf dengan baik dan benar. Wajah salaf yang mulia ditampilkan dengan tidak sepantasnya, kolot, jumud dan dhayyigul ufuk (sempit pandangan).
Alasan lain adalah adanya parpol (Islam) menunjukkan atau berpotensi menimbulkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam. Kewajiban dan kemutlakan persatuan umat Islam telah diketahui orang awam dan ditegaskaskan orang alim. Adapun perpecahan adalah indikasi cacatnya iman seseorang, bahkan mendekati kekufuran. Hal itu telah sahih dan sharih dalam dua pusaka Rasulullah Saw, alQuran dan asSunnah. Namun, benarkah berdirinya parpol berasaskan Islam mempunyai arti perpecahan atau penyebab perpecahan? Mungkin benar, mungkin juga tidak. Dalam memahami tu perlu dipetakan dan dibatasi masalahnya secara jelas. Analoginya berikut ini.
Menuntut ilmu adalah perbuatan mulia, begitu pula hal-hal yang menjadi derivatnya, seperti mengerjakan PR, ujian bersama, belajar kelompok, atau apa pun namanya. Namun, jika ada yang melakukan kecurangan dalam proses menuntut ilmu misalnya mencontek ketika ujian- bukan menuntut ilmunya yang tercela (baca: haram), melainkan tindakan curangnya itu. Sama halnya dengan muzhaharah (demonstrasi) sebagai upaya menyalurkan aspirasi atau taushiah adalah sah-sah saja. Namun, jika diikuti dengan hujat-menghujat, sumpah serapah, dan ucapan kotor, itu tidak dapat dibenarkan. Jadi, perilaku kotor yang ada di dalamnya yang layak dicegah, bukan demonstrasinya.
Demikian pula halnya dengan partai politik yang sekedar wadah manusia berkumpul seperti perkumpulan lain yang dibuat manusia. Jika ada yang berbuat jahat di dalam sebuah parpol atau organisasi nonpolitik- serta sesalu mengajak perpecahan, korup dan asusila, perilaku bejat manusia yang ada di dalamnya yang perlu disalahkan bukan wadahnya. Berbeda partai Islam pun tidak selalu berarti perpecahan. Rasulullah Saw pernah membiarkan para sahabatnya tetap di bawah panji kabilah masing-masing ketika melakukan ghazwah (peperangan). Para sahabat Nabi Saw tidak sedikit menisbatkan dirinya pada sukubangsa mereka dan Nabi Saw tidak melarangnya karena tidak menunjukkan kesombongan dan perpecahan. Contohnya, Salman al Farisy (Salman si Persia), Abu Ayyub al Anshary (Abu Ayyub orang Anshar), Abu Musa al Asyary (Abu Musa orang Asyary, kabilah di Yaman). Begitu pula ulama kita yang menymatkan di belakang nama mereka mazhab fiqh yang mereka anut. Contoh, Imam al Ghazaly asy Syafii (ia bermazhab Syafii, Abu Bakar bin al Araby al Maliky (bermazhab Maiki) dan Imam Abu Rajab al Hambali (bermazhab Hambali). Jadi, semua itu tidak maslah jika tidak diikuti fanatisme buta.
Semoga Allah Swt merahmati alAllamah al Imam Yusuf al Qaradhawy ketika berkata bahwa partai-partai adalah mazhab-mazhab dalampolitik, seperti mazhab adalah partai-partai dalam fiqh. Gejala wajar dan alami pula jika manusia cenderung berkelompok dengan manusia lain yang memiliki kesamaan pandangan dan tujuan. Amat dimalumi jika ada manusia yang mendirikan yayasan, karang taruna, study club, laskar jihad atau partai politik. Seuanya adalah sama, yaitu sama-sama wadah manusia berkelompok. Perbedaannya hanya terletak pada obyek aktivitasnya. Apa pun bentuk, nama dan obyek aktivitasnya jika semuanya memiliki tujuan yang tidak benar, merusak dan jahat, tanpa kecuali- tidak syak lagi keharamannya. Misalnya, sindikat narkoba, komplotan bajak laut atau gank-gank jalanan. Adapun jika kelompok apa pun dibentuk berdasarkan pada tujuan yang mulia demi menjaga kehormatan manusia, agama, harta, akan dan jiwa, itu merupakan sebuah amal shalih dalam agama.
Kepada kaum muslimin, kita tentu memahami bahwa salah satu tugas pengabdian manusia kepada Khaliq-nya adalah iqmatuddin (menegakkan agama) di semua lini kehidupan. Untuk itu, diperlukan kekuatan penopang, pelindung dan penyempurna penerapan ajaran agama dan syariah. Dalam hal ni, penguasa adalah pihak yang memiliki kekuatan untuk itu karena ucapannya didengar, titahnya dijalankan, bahkan mereka merupakan bayangan Allah Swt di bumi (HR Imam Bukhari). Wajar jika Imam Ahmad dan Fudhail bin Iyadh pernah mengatakan seandainya punya doa yang mustajab, niscaya mereka akan mendoakan kebaikan bagi penguasa. Masalahnya, penguasa seperti apa yang mau sadar melakukan tugas menopang, melindungi dan menyempurnakan syariat Islam? Tentu penguasa yang shalih dan mengerti. Bagaimana memilih orang yang shalih dan mengerti serta memiliki kekuasaan? Tentu harus melalui aturan main (mekanisme) yang telah terlanjur ada dan mapan di sebuah negara. Umumnya melalui jalur politik kepartaian. Begitulah alur yang harus dipahami dan dilalui jika ingin memperbaiki umat dengan syariah. Utsman bin Affan Ra berkata, Segala yang tidak dapat diluruskan alQuran, Allah Swt akan meluruskan melalui tangan penguasa.
Apa jadinya jika umat Islam sendiri mengharamkan keberadaannya? Jalur apa yang dapat dijadikan sarana bagi aktivis Islam untuk bergerak dalam mewujudkan manusia yang adil dan sejahtera? Sungguh kesempitan itu tidak akan terjadi seandainya tidak ada fatwa janggal yang mengharamkan parpol. Mungkinkah orang soleh dan mengerti dapat menjadi presiden, menteri atau anggota dewan jika mereka hanya duduk diam dan manggut-manggut di depan kitab Syarah Aqidah Thahawiyah, Aqidah Washitiyah, Aqidah Salaf ash Habul Hadits dan Fathul Majid?55) Untuk masa kini, masyarakat kita butuh orang yang layak dan kenal tokoh yang akan menjadi pemimpin mereka.
Tentu pihak yang mengharamkan parpol tidak akan ridha jika mereka dipimpin orang-orang kafir, zalim atau fasiq. Jadi, biarkan aktivis Islam bergerak mengikuti mekanisme yang ada sebagai jalur perjuangan mereka. Nyatanya, Rasulullah Saw pernah memanfaatkan kebiasaan masyarakatnya untuk mashalat dakwah ketika kedudukan beliau masih lemah seperti keadaan aktivis dan umat Islam saat ini. Seharusnya setiap muslim apalagi yang faqih terhadap agamanya- membantu saudaranya yang berjuang dan bukan menjegal dengan fatwa-fatwa menyesatkan. Ada syair yang cocok untuk itu, Jangan kau caci kegelapan, tetapi nyalakanlah pelita.
Ya Allah! Berikan petunjuk kepada kami yang benar itu benar dan kuatkanlah kami untuk mengikutinya. Berikan petunjuk kepada kami bahwa yang salah itu salah dan kuatkanlah kami untuk menjauhinya.
---------------------------------------
[41] Yusuf al Qaradhawy, Fiqih Daulah, hlm. 269.
[42] Ishlah, Loc cit, hlm. 23, kol. 1.
[43] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, hlm. 595.
[44] Yusuf al Qaradhawy, Op Cit, hl, 263.
[45] Ibid, hlm. 265.
[46] Ibid, hlm. 262.
[47] Penunjukkan kepada enam sahabat Nabi yang senior dan alim itu mengisyaratkan bahwa orang yang layak menjadi ahlus syura dalam ahlul halli wal aqdi, adalah orang yang bermoral, berpengalaman, berwibawa dan berilmu. Ketiga hal itu ada pada enam sahabat Nabi tadi. Amat berbeda dengan yang terjadi hari ini. Dengan alasan persamaan hak, siapa saja berhak dicaonkan dan menjadi anggota dewan tanpa meperdulikan kebejatan atau kebodohannya. Hal itu tidak lain menunjukkan ambisi memperbanyak jumlah kelompoknya di parlemen karena bingung terhadap kondisi kelompoknya yang minim kader berkualitas.
[48] Mereka menyebutkan ada 36 mafsadat (kerusakan) akibat pemungutan suara, di antaranya: 1. Perbuatan syirik kepada Allah Swt 2. Menekankan pada suara terbanyak 3. Anggapan dan tuduhan bahwa Dinul Islam kurang lengkap 4. Pengabaian alWala wal bara 5. Tunduk kepada UU sekuler 6. Mengecoh orang banyak, khususnya kaum muslimin 7. Memberikan kepada Demokrasi baju Syariat 8. Membantu dan mendukung musuh Islam 9. Menyelisihi Rasulullah Saw dalam metode menghadapi musuh 10. Termasuk wasilah yang diharamkan 11. Memecah belah kesatuan umat 12. Menghancurkan persaudaraan sesama muslim 13. Mewujudkan fanatisme golongan atau partai yang terkutuk 14. Menumbuhkan pembelaan (jahiiyah) terhadap partai-partai di golongan mereka 15. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk maslahat golongan 16. Janji-janji tanpa realisasi dari para calonnya hanya ntuk menyenangkan hati pemilih 17. Pemalsuan, penipuan dan pembohongan untuk meraih simpati massa 18. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk kampanye, bahkan kadang-kadang sampai meninggalkan kewajiban agama 19. Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan 20. Money Politic dari kandidat untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih 21. Terpedaya dengan kuantitas, bukan kualitas 22. Ambisi merebut kursi tanpa peduli pada rusaknya akidah 23. Memilih seorang calon tanpa memandang akidahnya 24. Memilih calon tanpa peduli dengan syarat-syarat syarI seorang pemimpin 25. Pemakaian dalil-dalil syarI tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura, yaitu Dan urusan mereka, mereka selesaikan dengan musyawarah 26. Tidak diperhatikannya syarat-syarat syarI dalam kesaksian, sebab pemberian amanat adalah persaksian 27. Penyamarataan yang tidak syarI, di mana disamaratakan antara wanita dan pria, alim dan jahil, shalih dan fasik, muslim dan kafir 28. Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon. Padahal Rasulullah Saw telah bersabda: Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita (HR. Bukhari) 29. Mengajak menusia kepada tempat-tempat pemalsuan 30. Termasuk tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran 31. Melibatkan diri dalam perbuatan sia-sia 32. Jani-jani palsu dan semu yang disebar 33. Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti partai islam, pemillu islami, kampanye islami, dll 34. Berkoalisi dan beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara terbanyak 35. Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan suara 36. Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau karena tidak puas, karena kalah atau merasa dicurangi (As Sunnah edisi 11/Th. III/1420-1999, hlm. 39)
Terlihat bahwa betapa anggapan ini terlalu instan, memaksa, mengada-ada, dan ghuluw (berlebihan), sekaligus menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memahami masalah. Seharusnya mereka memetakan masalah itu dengan baik bahwa Pemilu adalah satu hal, sedangkan manusia sebagai penyebab kerusakan-kerusakan adalah hal lain. Pemilu sebagai sebuah sarana atau cara tidak sesederhana itu untuk dianggap sebagai perbuatan syirik, wasilah yang haram, atau menyalahi metode Rasul Saw. Meski kami tidak mengingkari bahwa Pemilu memiliki cacat dan kekurangan yang sulit dihindari, seperti pemyamarataan orang yang dipilih tanpa mempertimbangkan keshalihan atau kefasikan, alim atau jahil, muslim atau kafir. Hali pilihan-pilihan itu menjadi representasi bahi pemilihnya. Namun, tidak sepantasnya jika kesalahan-kesalahan yang dilakukan manusia ketika Pemilu berlangsung diarahkan kepada Pemilunya, padahal Pemilu hanyalah alat. Semua kerusakan yang disebutkan tadi tidak lain bersumber pada mentalitas atau moralitas manusianya yang bermasalah. Jika terjadi money politic, perpecahan dan lainnya seperti yang mereka sebutkan, sungguh hal itu dapat terjadi pada cara selain Pemilu. Bahkan pihak yang menerapkan sistem syura (musyawarah) pun mungkin saja diikuti money politic atau perpecahan seperti yang pernah kita dengar. Meski begitu, apakah syura menjadi buruk? Tentu tidak. Itu hanya masalah mentalitas manusianya.
[49] Bagaimana dengan Pemilu di negara berpenduduk muslim yang tidak menerapkan syariat Islam alias bukan negara Islami? Bagaimana berpartisipasi dalam Pemilu di sana? Keragu-raguan itu dijawab Syaikh Mamun al Hudaibi, Para ulama salaf yang kami ikuti tuntunannya menggunakan cara serupa ketika menemui para pemimpin negeri di zamannya (catatan: kebanyakan dari pemimpin itu lebih buruk sifatnya dibandingan para pemimpin negeri dewasa ini). Mereka membri nasihat dan melarang dari kejahatan. Tujuan Ikhwan memasuki parlemen adalah mencoba mencegah kezaliman semampu mereka. Anda boleh saja mengatakan, Ini kan pemerintahan rezim non-Islami? Memang benar bahwa rezim sekarang bukanlah rezim negara yang berlandaskan Islam. Namun masalahnya apakah rezim ini dipimpin seorang kafir yang membolehkan keterlibatan pihak mana pun dalam sistem yang dibangunnya? Jawaban-nya, seluruh pejabat yang menjalankan pemerintahan itu seperti di Mesir- bukanlah orang-orang kafir, melainkan mujrimin (pelaku dosa). Kami tidak menghukumi keimanan seseorang sepanjang mereka tidak mengumumkan diri keluar dari Islam. Namun, kami adalah juru dahwah yang menyeru kepada Allah Swt (lihat buku Nahnu Duat La Qudhat Kami Penyeru Dakwah bukan Penuduh) yang ditulis Hasan al Hudaibi. (Ishlah edisi 67/Th. IV, 1996, hlm. 24, kol. 1-2)
[50] Yusuf al Qaradhawy, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid II, hal. 929-930
[51] Tidak semua pejuang Ikhwan mendirikan partai politik, seperti HAMAS di Palestina atau Jamaah Islam Malaysia di Malaysia karena Ikhwan memahami setiap negara memiliki realitas politik tersendiri yang perlu penanganan spesifik dan berbeda dari negara lain. Perlu diketahui, ada tokoh-tokoh Ikhwan yang menolak parpol, seperti Fathi Yakan, Muhammad Qutb dan Sayyid Qutb. Mereka cenderung mendahulukan dakwah tauhid atau revolusi. (Mustafa Mahmud Thahhan, Rekonstruksi Menuju Gerakan Iszlam Modern, kata pengantar)
[52] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, hlm. 420. Baca juga Yusuf al Qaradhawy, Fikih Taysir, hlm. 21
[53] Yusuf al Qaradhawy, Konsep dan Praktik Fatwa Kontemporer, Antara Prinsip dan Penyimpangan, hlm. 39
[54] Sebagian Ulama kita menetapkan, pemberian izin Rasulullah Saw itu bukanlah menasakh (menghapus) larangan yang pertama. Larangan untuk berziarah tidak lain adalah penundaan karena kondisi akidah mereka belum siap. Ketika kondisi berubah Rasulullah Saw mengizinkannya. Hal itu sama halnya dengan perintah Allah Swt untuk menahan diri dari jihad dan baru diizinkan ketika turun ayat udzina lilladzina yuqataluna bi annahum zhulimu. Itupun sebuah penundaan yang baru diizinkan pada saat keadaan berubah, yaitu saat kaum muslimin memiliki kekuatan aqidah dan materi.
[55] Penyebutan kitab-kitab itu bukan bermaksud melecehkan kitab-kitab ulama yang amat bermanfaat itu. Konteks kalimat itu adalah sebagai pertanyaan kritis bagi manusia yang selalu mengkaji kitab-kitab itu tanpa melihat dunia luar, apalagi alergi dengan dunia luar.
No comments:
Post a Comment