22 December 2008

Hari Ibu: Satu Rindu

Pagi ini saya menemukan artikel menarik dari tulisan bang jay di warnaislam.com,
berikut saya cuplikan sambil menemani mendengarkan lagu opick satu rindu.

Satu Rindu

oleh Opick Feat Amanda

Hujan teringatkan aku
Tentang satu rindu
Dimasa yang lalu
Saat mimpi masih indah bersamamu

Terbayang satu wajah
Penuh cinta penuh kasih
Terbayang satu wajah
Penuh dengan kehangatan
Kau ibu Oh ibu

Alloh izinkanlah aku
Bahagiakan dia
Meski dia telah jauh
Biarkanlah aku
Berarti untuk dirinya
oh ibu oh ibu kau ibu

Terbayang satu wajah
Penuh cinta penuh kasih
Terbayang satu wajah
Penuh dengan kehangatan
Kau ibu

Terbayang satu wajah
Penuh cinta penuh kasih
Terbayang satu wajah
Penuh dengan kehangatan
Kau ibu oh ibu kau ibu
oh ibu oh ibu

Hujan teringatkan aku
Tentang satu rindu
Dimasa yang lalu
Saat mimpi masih indah bersamamu
Kau ibu kau ibu kau ibu


Dalam perjalanan pulang dari Medan, saya berkenalan dengan seorang ibu yang usianya sudah cukup lanjut. Dalam perkiraan saya, umurnya sudah lebih dari 60 tahun. Tujuannya ke Jakarta, kemudian pindah pesawat menuju Denpasar dan berakhir di Melbourne, Australia. Beliau ingin menghadiri wisuda anaknya di Melbourne University.

Tentu saja banyak pertanyaan di hati saya. Seharusnya, beliau tidak berangkat sendiri. Kemana suaminya? Tega sekali membiarkan istrinya pergi sendirian ke luar negeri. Kemana juga anak-anaknya? Betapa teganya membiarkan seorang ibu yang sudah tidak muda lagi, ke luar negeri tanpa ditemani. Seperti mengetahui apa yang saya pikirkan, beliau bercerita panjang lebar tentang kisah kehidupannya.

Beliau adalah ibu dari tujuh orang anak. Sekeluarga, mereka tinggal di Simalungun, Sumatera Utara. Tempat tinggalnya, sebuah rumah sempit, yang disesaki oleh delapan manusia. Yang sekolah di Australia, adalah anak bungsunya. Suaminya meninggal dunia, ketika anak-anaknya masih kecil. yang tertua baru berumur 11 tahun. Beliau membesarkan anak-anaknya dalam kondisi sulit. Dan, beliau adalah salah satu orang beruntung yang pernah saya temui. 6 dari tujuh anaknya, adalah sarjana. Yang bungsu, sudah MBA dari Melbourne University. Anak kedua, seorang dokter spesialis bedah, sekaligus salah satu pejabat di lingkungan Pemda Sumatera Utara. Anak pertama tidak sarjana. Si sulung, berprofesi sebagai petani. Anak-anak yang lain, tidak terlalu jelas diceritakan, tetapi yang pasti, mereka semua sarjana. Ada sarjana teknik sipil, ada yang perminyakan. Intinya, beliau bisa disebut sebagai orang yang sukses mendidik anak-anaknya.

Ada satu pertanyaan nakal yang saya ajukan. Mendengar cerita itu, saya menebak bahwa beliau begitu bangga dengan keberhasilan anak-anaknya. Dan dugaan saya, anak yang paling beliau banggakan adalah anak kedua. Seorang dokter bedah sekaligus pejabat di pemerintahan.

Beliau menggeleng. Bukan, katanya. Anak yang paling beliau banggakan justru anak pertama, yang sampai kini masih jadi petani di Simalungun sana. Mengapa? Karena atas pengorbanan anak sulung inilah, anak kedua sampai ketujuh bisa sekolah tinggi. Biaya sekolah mereka, sebagian besar berasal dari jerih payahnya sebagai petani. Kalau saja si sulung tidak berkorban, meninggalkan bangku sekolah dan memilih bekerja sebagai petani setelah sang ayah meninggal, bisa jadi kehidupan kami sekarang tidak bergeser jauh dari kondisi dahulu, kenang beliau.



No comments: