Akhirnya BBM itu naik juga, akhir 2005 yang lalu bapak presiden pernah menyampaikan tidak akan menaikan harga BBM lagi. Oleh karena itu, semenjak pernyataan itu dibuat, pemerintah langsung mengarap proyek smartcard yang dipimpin oleh BPH Migas.
Pertama, masalah BPH Migas, 2005 yang lalu saya pernah terlibat dalam salah satu proyek monitoring BBM Minyak Tanah oleh BPH Migas, konsepnya setiap agen akan mengirimkan laporan stok mereka melalui SMS ke BPH Migas dan sistem informasi IT di BPH Migas akan menampilkan laporan itu kepada para pengambil keputusan di lembaga pemerintah sekaligus memonitor penyaluran Minyak Tanah ke masyarakat. Tetapi saat ini kebijakan yang dilakukan adalah konversi minyak tanah ke Gas Elpiji, lalu buat apa sistem itu dibuat?.
Kedua, Jika BBM dinaikan maka imbasnya adalah pengeluaran pengguna mobil dan motor akan bertambah pada pos pembelian BBM, perawatan kendaraan dan Onderdil untuk masing-masing kendaraan mereka. Tetapi bagi masyarakat yang tidak memiliki kendaraan motor maupun mobil, mereka tetap merasakan kenaikan ongkos, bahkan sampai 2 kali lipat. Sebagai contoh:
Budi naik motor ke kantornya di kuningan dari Bekasi, maka setelah BBM naik dia akan membayar BBM di SPBU kalimalang lebih mahal 20%, onderdil dan biaya montir di bengkel di Bekasi 20%.
Sedangkan Ibu Wati, yang bekerja sebagai cleaning service di Mampang dari Depok, maka beliau akan membayar angkot Rp. 3000 (naik 20%), metromini Rp. 3000 (naik 20%) dan juga ojek Rp 4000 (naik 20% karena beliau sudah tidak kuat untuk jalan kaki lagi).
Negara ini adalah anggota negara pengekspor minyak dunia, tetapi minyak yang kita produksi masih dibawah konsumsi kita, alasannya sederhana, karena jalan Sudirman selalu macet di pagi dan sore hari, karena pejabat kita tidak mau naik angkutan umum dari kalibata (perumahan DPR) ke senayan (Gedung DPR) . Mengapa mereka nggak mau naik angkutan umum? karena angkutan umumnya terlalu buruk untuk dibilang jelek.
Iran adalah contoh paling tepat buat bangsa ini, janganlah melihat ke Amerika atau Singapura (kondisinya jauh panggang dari api), Iran mampu membatasi konsumsi BBM, sehingga konsumsi BBM dalam negeri bisa dihemat, sisanya bisa diekspor, yang akhirnya APBN naik dan pemerintah bisa mensejahterakan rakyatnya. Iran tidak butuh smartcard, Iran tidak butuh perhitungan njelimat, merekapun tak perlu pemimpin yang ahlinya (nyindir bapak gubernur dulu :D). Iran cuma punya ahmadinejad dan pemimpin lain yang rela naik mobil cc kecil (bukan mercy) dan tinggal di rumah yang tidak butuh listrik besar.
Akhirnya, sebagai calon pemimpin bangsa (kita bukan rakyat biasa yang tidak bisa apa-apa), sudah seharusnya kebiasaan bapak-bapak kita berhenti sampai di sini. Mulai menghemat BBM/listrik dan biaya having fun, alokasikan sisa penghematan itu untuk ibu Wati dan ibu-ibu yang lain dan mudah-mudahan bangsa ini akan jadi bangsa yang kita banggakan ketika usia kita telah mencapai 50 tahun kelak. :)
Pertama, masalah BPH Migas, 2005 yang lalu saya pernah terlibat dalam salah satu proyek monitoring BBM Minyak Tanah oleh BPH Migas, konsepnya setiap agen akan mengirimkan laporan stok mereka melalui SMS ke BPH Migas dan sistem informasi IT di BPH Migas akan menampilkan laporan itu kepada para pengambil keputusan di lembaga pemerintah sekaligus memonitor penyaluran Minyak Tanah ke masyarakat. Tetapi saat ini kebijakan yang dilakukan adalah konversi minyak tanah ke Gas Elpiji, lalu buat apa sistem itu dibuat?.
Kedua, Jika BBM dinaikan maka imbasnya adalah pengeluaran pengguna mobil dan motor akan bertambah pada pos pembelian BBM, perawatan kendaraan dan Onderdil untuk masing-masing kendaraan mereka. Tetapi bagi masyarakat yang tidak memiliki kendaraan motor maupun mobil, mereka tetap merasakan kenaikan ongkos, bahkan sampai 2 kali lipat. Sebagai contoh:
Budi naik motor ke kantornya di kuningan dari Bekasi, maka setelah BBM naik dia akan membayar BBM di SPBU kalimalang lebih mahal 20%, onderdil dan biaya montir di bengkel di Bekasi 20%.
Sedangkan Ibu Wati, yang bekerja sebagai cleaning service di Mampang dari Depok, maka beliau akan membayar angkot Rp. 3000 (naik 20%), metromini Rp. 3000 (naik 20%) dan juga ojek Rp 4000 (naik 20% karena beliau sudah tidak kuat untuk jalan kaki lagi).
Negara ini adalah anggota negara pengekspor minyak dunia, tetapi minyak yang kita produksi masih dibawah konsumsi kita, alasannya sederhana, karena jalan Sudirman selalu macet di pagi dan sore hari, karena pejabat kita tidak mau naik angkutan umum dari kalibata (perumahan DPR) ke senayan (Gedung DPR) . Mengapa mereka nggak mau naik angkutan umum? karena angkutan umumnya terlalu buruk untuk dibilang jelek.
Iran adalah contoh paling tepat buat bangsa ini, janganlah melihat ke Amerika atau Singapura (kondisinya jauh panggang dari api), Iran mampu membatasi konsumsi BBM, sehingga konsumsi BBM dalam negeri bisa dihemat, sisanya bisa diekspor, yang akhirnya APBN naik dan pemerintah bisa mensejahterakan rakyatnya. Iran tidak butuh smartcard, Iran tidak butuh perhitungan njelimat, merekapun tak perlu pemimpin yang ahlinya (nyindir bapak gubernur dulu :D). Iran cuma punya ahmadinejad dan pemimpin lain yang rela naik mobil cc kecil (bukan mercy) dan tinggal di rumah yang tidak butuh listrik besar.
Akhirnya, sebagai calon pemimpin bangsa (kita bukan rakyat biasa yang tidak bisa apa-apa), sudah seharusnya kebiasaan bapak-bapak kita berhenti sampai di sini. Mulai menghemat BBM/listrik dan biaya having fun, alokasikan sisa penghematan itu untuk ibu Wati dan ibu-ibu yang lain dan mudah-mudahan bangsa ini akan jadi bangsa yang kita banggakan ketika usia kita telah mencapai 50 tahun kelak. :)
No comments:
Post a Comment