15 May 2009

Pilihan Sulit Teladan Kesederhanaan: Budiono dan HNW

Pekan ini kantor terasa berbeda, divisi IT yang sehari-hari ramai oleh pembicaraan seputar aplikasi facebook di ponsel atau seputar Highdeal billing yang dibeli oleh SAP dan yang terhangat SUN Microsystem yang dibeli oleh Oracle. Pencalonan Boediono sebagai cawapres adalah pangkal diskusi tersebut, salah satu personil di divisi IT adalah putra dari pak Boediono dan kami semua mafhum bahwa keluarga pak Boediono adalah keluarga yang sederhana dan taat dalam beribadah.

Sampai seorang Faisal Basri yang merupakan salah satu top student di FEUI, selain dari Sri Mulyani, ikut mengomentari sosok Pak Boediono yang sederhana dan jujur. dikutip dari blog Faisal Basri.

Adalah Pak Boed pula yang memulai tradisi tak memberikan “amplop” kalau berurusan dengan DPR. Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada Mas Anggito.

Ada dua lagi, setidaknya, pengalaman langsung saya berjumpa dengan Pak Boed. Pertama, satu pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta tatkala Pak Boed masih Menteri Keuangan. Berbeda dengan pejabat pada umumnya, Pak Boed dijemput oleh Ibu. Dari kejauhan saya melihat Ibu menyetir sendiri mobil tua mereka.

Kedua, saya dan isteri sekali waktu bertemu Pak Boed dan Ibu di Supermarket dekat kediaman kami. Dengan santai, Pak Boed mendorong keranjang belanja. Rasanya, hampir semua orang di sana tak sadar bahwa si pendorong keranjang itu adalah seorang Menko.

Banyak lagi cerita lain yang saya dapatkan dari berbagai kalangan. Kemarin di bandara Soekarno Hatta setidaknya dua orang (pramugara dan staf ruang tunggu) bercerita pada saya pengalaman mengesankan mereka ketika bertemu Pak Boed. Seperti kebanyakan yang lain, kesan paling mendalam keduanya adalah sikap rendah hati dan kesederhanaannya.

Dua hari lalu saya dapat cerita lain dari pensiunan pejabat tinggi BI. Ia mengalami sendiri bagaimana Pak Boed memangkas berbagai fasilitas yang memang terkesan serba “wah.” Dengan tak banyak cingcong, ia mencoret banyak item di senarai fasilitas. Kalau tak salah, Pak Boed juga menolak mobil dinas baru BI sesuai standar yang berlaku sebelumnya. Entah apa yang terjadi, jangan-jangan mobil para deputi dan deputi senior lebh mewah dari mobil dinas gubernur.

Kalau mau tahu rumah pribadi Pak Boed di Jakarta, datang saja ke kawasan Mampang Prapatan, dekat Hotel Citra II. Kebetulan kantor kami, Pergerakan Indonesia, persis berbelakangan dengan rumah Pak Boed. Rumah itu tergolong sederhana. Bung Ikhsan pernah bercerita pada saya, ia menyaksikan sendiri kursi di rumah itu sudah banyak yang bolong dan lusuh.


Cerita di atas sudah lebih dari cukup menggambarkan bagaimana sosok Boediono yang sederhana dan jujur. Ketika di sisi lain kita melihat seorang mantan kapolres mampu memiliki sampai lebih dari lima mobil mewah, sosok boediono bagai sebuah contoh bagi pejabat negeri ini.

Lalu mengapa menjadi pilihan yang sulit? karena di lain pihak ada sosok HNW. Untuk bisa menggambarkan dengan lebih jelas, mari kita ikuti tulisan lain tetang kesederhanaan juga dari pemimpin negeri ini.


Ia menyemir sepatu sendiri. Ia memulai hari dengan bersujud. Bersarung cokelat kotak-kotak, baju koko putih, dan peci hitam, Hidayat Nur Wahid, (48), ditemani putra bungsunya, Hubaib Shidiq, (9), keluar dari kamar tidur menuju musala di samping kanan rumah dinasnya. Di Musola berukuran 3 x 6 meter itu telah menunggu dua staf pribadi Hidayat yang juga akan salat subuh bersama, Jam 04.45 WIB Rabu lalu. Jam 05.10, usai salat subuh, Hidayat dan Hubaib beranjak ke lantai 2 rumahnya. Di depan ketiga kamar ada ruang berukuran 3 x 4 meter untuk ruang keluarga.

Seperti di ruangan lainnya, di ruangan seukuran lapangan bulu tangkis ini tidak ada aksesori yang tergolong mewah. Hanya ada televisi 21 inci dan akuarium berukuran 1 x 0,5 meter yang dihuni seekor ikan arwana. Di dinding tergantung satu lukisan bunga, foto Hidayat bersama para pemimpin MPR, serta foto-foto mendiang istrinya. Menu sarapan kali itu nasi uduk, kering tempe, ayam dan telur goreng, sambal, dan kerupuk. Buahnya jeruk dan lengkeng, minumannya jus jambu dan air mineral. Tapi Hidayat hanya mengambil kering tempe, ayam goreng, sambal, dan kerupuk sebagai teman nasi uduk. Hidayat agaknya penggemar kerupuk. Sekali makan, lebih dari tiga kali ia merogoh kaleng krupuk dari plastik itu. Ia mengaku tidak punya pantangan jenis makanan tertentu. Tapi masakan tradisional Jawa, seperti pecel, botok, sambal goreng, sayur lodeh, dan tentu saja kerupuk, paling ia gemari. Untuk bekerja hari itu Hidayat memilih kemeja batik lengan panjang biru dengan motif kawung putih dan celana hitam. Hidayat jarang mengenakan jas. Hidayat mengaku tak punya merek pakaian favorit. Istrinyalah yang biasanya menyediakan pakaiannya. Batik yang ia kenakan hari itu, misalnya, bahannya dibelikan Kastian dan dijahit di Pondok Gede, dekat rumah pribadinya. Mendiang Kastian pula yang membelikan jam tangan Tissot yang dikenakan Hidayat, juga telepon seluler Nokia--bukan Communicator. Kastian membelikannya saat berhaji, beberapa hari sebelum meninggal. "Ini kenang-kenangan terakhir almarhumah."


Sebaliknya, terlepas dari tarik ulur keduanya di posisi RI-2, Indonesia akan jauh lebih baik jika sosok-sosok seperti ini mewarnai pemimpin negeri ini, dan untuk lebih menyemarakkan suasana. Saya mengajukan solusi sederhana.

Kita buat HNW-Boediono saja, after all I'm not a SBY Fans though :)

1 comment:

Mama Embun said...

Hehehe.. kalo sulit istikaharah aja, Mas :-)