Diambil dari Rubrik Opini Media Indonesia
oleh Burhanudin Muhtadi (Peneliti LSI)
Audzubillahi min al-siyasah wa al-siyasiyyin (saya berlindung kepada Allah dari politik dan kaum politisi).
Syaikh M Abduh
‘TALAK politik’ dari Abduh tersebut tepat menggambarkan PKS setelah dihantam banyak isu terkait dengan kasus dugaan korupsi impor daging, tuduhan salah satu pendiri mereka, yakni Yusuf Supendi, hingga Arifinto dari Fraksi PKS yang tertangkap menonton gambar porno saat sidang paripurna.
Bagaimana bisa seorang ustaz sealim Arifi nto, pendiri partai dan anggota Majelis
Syuro PKS, membuka gambar porno di saat sidang? Seorang aktivis dakwah berkata kepada
saya, “Syahwat politik telah menyulap Arifinto dan PKS menjadi sangat pragmatis dan
larut dalam godaan kekuasaan.”
Kasus Arifinto
Pengunduran diri Arifinto sebagai anggota DPR memang menyelamatkan muka PKS. Selama beberapa hari, PKS menjadi sasaran tembak dari delapan penjuru mata angin akibat perilaku Arifinto. Kemarahan publik bukan semata-mata karena Arifinto mengabaikan etika anggota DPR, melainkan lebih karena Arifinto dinilai mewakili hipokrisi PKS yang sering berlaku sebagai ‘penjaga moral’. Coba saja pelakunya bukan
Fraksi PKS, mungkin ekspose media dan kontroversi yang muncul takkan seheboh ini.
Namun, pengunduran diri Arifinto patut diapresiasi karena memberikan pelajaran
pada pejabat lain untuk berani bertanggung jawab. Meski itu belum tentu menghapus
dugaan pelanggaran UU Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),
tindakan kesatria Arifi nto adalah oase di tengah negeri yang terlalu banyak dijejali pejabat yang tak tahu malu.
Kasus Arifi nto jelas menimbulkan demoralisasi di kalangan kader partai dan publik.
Hantaman isu mulai Misbakhun, impor daging, tuduhan Yusuf, hingga Arifi nto mengarah
langsung ke jantung kredibilitas PKS. Rentetan kasus itu memereteli kredibilitas
PKS dalam soal antikorupsi dan moralitas pribadi. PKS mengalami defi sit kepercayaan
diri untuk mengklaim sebagai ‘partai malaikat’. PKS pada akhirnya dilihat publik sebagai partai medioker yang integritasnya sama parah dengan partai-partai lainnya.
Memang rentetan kasus yang membelit PKS itu tidak imun dari tarik-menarik politik
pascakasus Century dan mafia pajak. Tak ada kebetulan 100% karena kebetulan dalam
politik adalah sebuah kemewahan. Mungkin ada operasi politik untuk menggembosi
PKS, setidaknya ada ‘penari sorak’ atas munculnya kasus-kasus yang mencoreng PKS.
Namun, menyalahkan pihak ketiga atau mengklaim ada konspirasi besar untuk mengerdilkan PKS bukanlah langkah bijak. PKS seolah menutup mata ada persoalan serius di internal mereka. Seharusnya PKS melakukan muhasabah kubro (introspeksi) kenapa
kasus-kasus itu terjadi.
Risiko politik
Sebagai partai yang lahir darirahim gerakan dakwah, pilihan menjadi partai bukan tanpa risiko. PKS adalah partai yang ditopang basis sosial kader yang militan, muda, terdidik, kota, dan punya pandangan Islam konservatif. Menjadi partai berarti PKS harus siap bermain dalam dunia syubhat atau abu-abu yang penuh kompromi, negosiasi, dan godaan kekuasaan. Tak semua kader bisa ‘menikmati’ langgam politik seperti itu,
terbukti dengan kritik-kritik keras dari sesepuh partai seperti Abu Ridho, Mashadi,
Daud Rasyid, dan Ihsan Tanjung terhadap arah PKS dewasa ini.
Di sisi lain, pilihan elite-elite PKS di bawah komando Ketua Majelis Syuro KH Hilmi
Aminuddin juga tak bisa disalah kan. Jika PKS bersikeras mempraktikkan politik
representasi basis sosial, suara PKS paling banter seperti yang diperoleh Partai Keadilan di 1999 yang gagal melampaui electoral threshold. Jualan isu-isu islami dan eksklusivisme terbukti tidak laku dalam pasar pemilih kita.
Untuk itu, sejak 2004 PKS serius memakai logika kompetisi, untuk meminjam Kitschelt (1989). PKS melakukan rebranding dengan mengubah citra dari partai eksklusif menjadi partai yang menjual isu-isu universal. Citra bersih dan peduli ditawarkan kepada
pemilih. Pilihan taktik elektoral itu terbukti berhasil. Pemilu 2004 membuktikan kesuksesan PKS dengan meraih 8,33 juta atau 7,3%.
Mero k e t n y a suara PKS mendorong sebagian elite untuk meneruskan strategi yang
justru dianggap basis harakah mereka ‘kebablasan’. Jelang Pemilu Legislatif 2009, PKS
mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka, termasuk isu caleg dan anggota nonmuslim.
Bagi sebagian kader yang ortodoks, isu nonmuslim sangat sensitif. Iklan-iklan kampanye PKS yang menjual Soeharto sebagai guru bangsa juga menyakiti kader
yang pernah menjadi korban represi rezim Orde Baru.
Dengan mengikuti logika kompetisi bahwa faktor finansial menjadi salah satu faktor
penting, PKS juga tak bisa mengandalkan sumbangan kader yang terbatas. PKS mulai
permisif dalam menggalang dana. Kasus ‘uang mahar’ Adang Daradjatun dalam
pemilukada DKI Jakarta yang dituduhkan Yusuf, misalnya, menunjukkan PKS tak ada
bedanya dengan partai lain yang ‘mengutip’ uang perahu bagi calon kepala dae rah.
Atau kasus Inu Kencana yang mengaku gagal menjadi balon Wali Kota Payakumbuh karena
tak sanggup membayar ‘uang mahar’ ke PKS (Padang Ekspres, 23/5/2007). PKS juga
terlihat kurang selektif dalam merekrut calon legislatif.
Misbakhun, misalnya, karena punya basis fi nansial, tiba-tiba melesat ke jajaran elite. Tantangan lain ialah PKS kini memasuki tahapan krusial dakwah mihwar muassasi ketika kader harus memenetrasi publik dan lembaga negara. Itulah yang menjelaskan perilaku elite PKS yang cenderung memilih koalisi dengan pemerintah. Retorika
politik untuk turut membangun bangsa melalui koalisi adalah sah-sah saja.
Namun, PKS tak bisa menghindar dari isu-isu miring soal perburuan rente di kementerian yang diduduki kadernya. Ingat kasus Suripto, mantan Sekjen Departemen
(kini kementerian) Kehutanan, dalam pembelian dua helikopter bekas. Juga isu
tak sedap impor daging di Kementerian Pertanian. Tentu itu bukan monopoli PKS.
Partai-partai koalisi lain juga banyak terkena imbas karena menjadikan kementerian
sebagai lahan basah untuk memburu rente. Logika kompetisi pula yang mendorong PKS dalam munas terakhir menegaskan diri sebagai partai terbuka. Secara elektoral, pilihan itu adalah taktik jitu untuk mencuri dukungan dari segmen pemilih nasionalis dan nonmuslim.
Namun, mengubah citra PKS dari partai konservatif ke partai tengah tak semudah
membalikkan telapak tangan. Dalam soal membuka pintu bagi pemilih nasionalis dan
nonmuslim, PKS menghadapi dua tantangan sekaligus, yaitu (1) meyakinkan basis massa
tradisional yang ortodoks bahwa rebranding PKS tak mengubah komitmen keislaman
partai dan (2) meyakinkan pasar pemilih nasionalis dan nonmuslim bahwa komitmen
PKS menjadi partai terbuka bukan lip service.
Pilihan partai terbuka belum tentu didukung internal partai, khususnya faksi ideologis yang menjadi motor partai. Pada 2009 ketika PKS beranjak
ke partai tengah, sejumlah basis suara PKS di DKI Jakarta, Jabar, Sumbar, dan Maluku
Utara melorot tajam. Memang suara PKS di daerah yang ‘kering kerontang’ seperti di
Jateng, Jatim dan Sulteng meningkat.
Jika PKS tak berhati-hati, PKS bisa saja gagal mempertahankan ceruk pemilih tradisional, sementara pemilih baru dari kalangan nasionalis dan
nonmuslim belum tentu mereka dapat. Ibaratnya burung di tangan dilepas, sedangkan
burung di udara belum tentu mudah ditangkap. Jika PKS berhasil melewati dua
tantangan tersebut, PKS akan menjelma menjadi partai besar yang makin disegani kawan
maupun lawan.
No comments:
Post a Comment